Laman

Selasa, 26 Mei 2015

YUDICIAL REVIEW TENTANG PERKAWINAN UU NO 1 TAHUN 1974

Dalam Pasal 42 Tentang Kedudukan Anak, didalam putusan MK menimbulkan kepahaman bahwa anak di luar nikah memiliki hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya, sehingga meskipun tidak dalam hasil akibat hubungan pernikahan seorang anak selain mendapatkan pengakuan sebagai anak dari bapak biologisnya juga mendapatkan hak-hak lainnya. Sebagai contoh, anak hasil diluar pernikahan memiliki status nasab ke bapak bilogisnya bukan kepada ibunya. Sebagaimana diketahui, dari hasil hubungan gelap atau perzinahan antara pasangan laki-laki dan perempuan, anak lah yang kerap kali mendapatkan perlakuan tidak adil di masyarakat. Si anak tersebut sering dicap sebagai “ anak haram” padahal sesungguhnya anak tidak tahu menahu persoalan kenapa ia dilahirkan. Seperti kasus Macica Muhtar menggugat Pasal 2 Ayat 2 dan Pasal 43 Ayat 1 tentang anak yang dilahirkan di luar perkawinan, hanya memiliki hubungan perdata kepada ibunya. Alasannya Macica ingin memperjuangkan pengakuan anaknya, hasil dari pernikahan siri dengan menteri sekretaris negara era Orde Baru. Macica melakukan gugatan ke MK agar MK melakukan uji materi Undang-undang yang sangat mendiskriminasikan perempuan dan membebasakan laki-laki dari persoalan pertanggungjawaban.
Jika menurut Islam anak diluar pernikahan hanya bisa dinasabkan kepada ibunya dan tidak memiliki hubungan katakanlah, keperdataan dengan bapak biologisnya. Dengan demikian keputusan MK ini dianggap bertentangan dengan syari’at Islam, tentu bila dilihat dari sudut pandang Islam. Tetapi negara ini merupakan multikulturalisme dimana terdapat agama lain selain islam, walaupun warga indonesia mayoritas beragama islam. Yang menjadi masalah di sini, diantaranya, adalah keputusan MK bertentangan dengan syari’at Islam dalam masalah status anak diluar pernikahan hubungannya dengan bapak biologisnya.
Sebagaimana yang kemarin dikatakan oleh Bapak Eman Suparman selaku ketua Komisi Yudisial mengatakan bahwa nikah siri merupakan menikah secara agama yang sah karena memenuhi syarat rukunnya dinyatakan sah, tetapi belum sah menurut negara jika tidak dicatatkan di KUA, inipun sebenarnya menyisakan dualisme hukum, sehingga memunculkan masalah-masalah keperdataan lainnya. Negara mencatatkan akta perkawinan sebagai bukti perkawinan yang sah dimana bukti tertulis itu ada. Jika didalam syariat islam yang menganut mazhab As syafi’iyah yang berlaku dizaman dahulu dimana dimasa itu bukti perkawinan masih dalam bentuk oral yang cukup dikatakan oleh perkataan saja, tetapi jika pada zaman modern ini kita hidup dinegara indonesia yang mempunyai aturan hukum tersendiri, maka perlu bukti perkawinan tersebut kita catatkan dalam dokumen negara yang berfungsi sebagai penguat bukti jika kita ada permasalahan dengan hukum diindonesia.
Kemudian ada lagi pasal yang kontroversial seperti Halimah yang menilai penjelasan Pasal 39 Ayat 2 Huruf f merugikan hak konstitusionalnya. Karena, pasal tersebut tidak mencantumkan hal-hal yang menjadi penyebab perselisihan/pertengkaran itu terjadi. Hal tersebut menyebabkan pihak istri seringkali merasa dirugikan dalam hal penyebab terjadinya pertengkaran.
Halimah meminta MK menghapus Pasal 39 Ayat 2 Huruf f yang berbunyi. "Perceraian dapat disebabkan karena antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran." Pemohon meminta sepanjang frasa 'antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran' dibatalkan/dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945.
Saya rasa banyak pasal pasal dahulu yang bertentangan dengan seiring perkembangan zaman sekarang yang hampir sudah mendekati tahun 2014 sebagaimana akan diadakan pemilu presiden.
Kemudian mucul pertanyaan, lantas bagaimana masalah ini? Apakah UU ini perlu di amandemen ulang atau dirubah? UU adalah buatan manusia, maka tidak ada yang sempurna. Jadi, perkembangan zaman adalah sesuatu yang menjadi persoalan pada ketetapan hukum yang berlaku salah satunya melalui putusan pengadilan MK jika kita ingin mengusulkan keganjilan UU. Karena materi hukum yang bisa berubah tiap waktu. UU bersifat dinamis sehingga bila sudah tidak relevan lagi dengan situasi, kondisi dan kebutuhan maka bisa dirubah (revisi dan atau penambahan pasal) sehingga undang-undang bisa berguna disetiap masyarakat diindonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar