Dalam Pasal 42 Tentang Kedudukan
Anak, didalam putusan MK menimbulkan kepahaman bahwa anak di luar nikah
memiliki hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya, sehingga meskipun tidak
dalam hasil akibat hubungan pernikahan seorang anak selain mendapatkan
pengakuan sebagai anak dari bapak biologisnya juga mendapatkan hak-hak lainnya.
Sebagai contoh, anak hasil diluar pernikahan memiliki status nasab ke bapak bilogisnya
bukan kepada ibunya. Sebagaimana diketahui, dari hasil hubungan gelap atau
perzinahan antara pasangan laki-laki dan perempuan, anak lah yang kerap kali
mendapatkan perlakuan tidak adil di masyarakat. Si anak tersebut sering dicap
sebagai “ anak haram” padahal sesungguhnya anak tidak tahu menahu persoalan
kenapa ia dilahirkan. Seperti kasus Macica Muhtar menggugat Pasal 2 Ayat 2 dan
Pasal 43 Ayat 1 tentang anak yang dilahirkan di luar perkawinan, hanya memiliki
hubungan perdata kepada ibunya. Alasannya Macica ingin memperjuangkan pengakuan
anaknya, hasil dari pernikahan siri dengan menteri sekretaris negara era Orde
Baru. Macica melakukan gugatan ke MK agar MK melakukan uji materi Undang-undang
yang sangat mendiskriminasikan perempuan dan membebasakan laki-laki dari
persoalan pertanggungjawaban.
Jika menurut Islam anak diluar
pernikahan hanya bisa dinasabkan kepada ibunya dan tidak memiliki hubungan
katakanlah, keperdataan dengan bapak biologisnya. Dengan demikian keputusan MK
ini dianggap bertentangan dengan syari’at Islam, tentu bila dilihat dari sudut
pandang Islam. Tetapi negara ini merupakan multikulturalisme dimana terdapat
agama lain selain islam, walaupun warga indonesia mayoritas beragama islam. Yang
menjadi masalah di sini, diantaranya, adalah keputusan MK bertentangan dengan
syari’at Islam dalam masalah status anak diluar pernikahan hubungannya dengan
bapak biologisnya.
Sebagaimana yang kemarin dikatakan
oleh Bapak Eman Suparman selaku ketua Komisi Yudisial mengatakan bahwa nikah
siri merupakan menikah secara agama yang sah karena memenuhi syarat rukunnya
dinyatakan sah, tetapi belum sah menurut negara jika tidak dicatatkan di KUA, inipun
sebenarnya menyisakan dualisme hukum, sehingga memunculkan masalah-masalah
keperdataan lainnya. Negara mencatatkan akta perkawinan sebagai bukti
perkawinan yang sah dimana bukti tertulis itu ada. Jika didalam syariat islam
yang menganut mazhab As syafi’iyah yang berlaku dizaman dahulu dimana dimasa
itu bukti perkawinan masih dalam bentuk oral yang cukup dikatakan oleh
perkataan saja, tetapi jika pada zaman modern ini kita hidup dinegara indonesia
yang mempunyai aturan hukum tersendiri, maka perlu bukti perkawinan tersebut
kita catatkan dalam dokumen negara yang berfungsi sebagai penguat bukti jika
kita ada permasalahan dengan hukum diindonesia.
Kemudian ada lagi pasal yang
kontroversial seperti Halimah yang menilai penjelasan Pasal 39 Ayat 2 Huruf f
merugikan hak konstitusionalnya. Karena, pasal tersebut tidak mencantumkan
hal-hal yang menjadi penyebab perselisihan/pertengkaran itu terjadi. Hal
tersebut menyebabkan pihak istri seringkali merasa dirugikan dalam hal penyebab
terjadinya pertengkaran.
Halimah meminta MK menghapus
Pasal 39 Ayat 2 Huruf f yang berbunyi. "Perceraian dapat disebabkan karena
antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran." Pemohon meminta sepanjang frasa 'antara suami dan istri
terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran' dibatalkan/dihapus karena
bertentangan dengan UUD 1945.
Saya rasa banyak pasal pasal dahulu
yang bertentangan dengan seiring perkembangan zaman sekarang yang hampir sudah
mendekati tahun 2014 sebagaimana akan diadakan pemilu presiden.
Kemudian mucul pertanyaan, lantas
bagaimana masalah ini? Apakah UU ini perlu di amandemen ulang atau dirubah? UU
adalah buatan manusia, maka tidak ada yang sempurna. Jadi, perkembangan zaman
adalah sesuatu yang menjadi persoalan pada ketetapan hukum yang berlaku salah
satunya melalui putusan pengadilan MK jika kita ingin mengusulkan keganjilan UU.
Karena materi hukum yang bisa berubah tiap waktu. UU bersifat dinamis sehingga
bila sudah tidak relevan lagi dengan situasi, kondisi dan kebutuhan maka bisa
dirubah (revisi dan atau penambahan pasal) sehingga undang-undang bisa berguna
disetiap masyarakat diindonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar