Laman

Selasa, 26 Mei 2015

NEGARA DAN ISLAM



A.    Sifat dan Hubungan Negara dan Agama
Dalam pemikiran politik Islam Al-Mawardi terdapat tiga paradigma tentang hubungan agama dan negara:
1.      Integrasi, yaitu agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya, menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Ilahi" (divine sovereignty), karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di "tangan" Tuhan. Ajaran normatif bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dari negara didukung pula oleh pengalaman umat Islam di Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad.
2.      Simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.Pandangan tentang simbiosis agama dan negara ini dapat ditemukan, umpamanya, dalam pemikiran al-Mawardi (w. 1058), seorang teoritikus politik Islam terkemuka pada masa klasik. Pada baris pertama dari karyanya yang terkenal, al-Ahkam Sulthaniyah, al-Mawardi menegaskan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.
3.      Sekularistik, yaitu menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara.

B.     Kekuasaan dalam Negara
Mengenai timbulnya kekuasaan dalam Negara, Islam mempunyai pendirian yang berlainan dari teori-teori kekuasaan dalam Negara yang di angkat oleh para ilmuan barat. Dalam islam di terangkan bahwa Allah telah mengatakan kepada malaikat bahwa akan menciptakan Adam sebagai penguasa di muka bumi dan Allah juga menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa Allah mengangkat Daud sebagai penguasa di bumi. Artinya kekuasaan dalam Islam merupakan mutlak milik Allah dengan dedelegasikan tugas itu kepada utusan-utusan yaitu manusia yang dimuliakan oleh Allah yaitu para Nabi dan Rosul.
Akan tetapi teori ini tidak sama dengan teori teokrasi yang dibawa oleh para ilmuan barat yang menganggap bahwa kekuasaan dalam sebuah Negara itu merupakan bij gratie Gods (karunia Tuhan) tetapi bagaimana pengusa itu menggunakan kekuasaan tidak di perdulikan yang akhirnya timbul kekuasaan yang semena-mena dan di atas namakan Tuhan. Akan tetapi Islam memberi panduan dan petunjuk dalam melakasanakan amanah-amanah dalam kekuasaan yang telah tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Kekuasaan dalam Islam mutlak hanya pada Allah SWT adapun didunia ini didelegasikan pada para utusanya untuk membimbing dan memimpin umatnya yang disebut para Nabi dan Rasul mulai nabi Adam hingga Muhammad.Setelah Nabi Muhammad sudah tidak ada lagi nabi berikutnya hingga digantikan oleh para khalifah.Mulai masa khalifah inilah seluruh tata kehidipan yang ada diatur oleh seorang khalifah dengan berlandaskan pedoman Al-Qur’an dan Al-Hadits. Semua perkara diselesaikannya, mulai dari tata cara ibadah, tata kehidupan, kepemimpinan, sistem kenegaraan semua harus sesuai ddengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Jadi pada dasarnya Islam itu mempunyai teori dan aturan tersendiri yang sesungguhnya semua aturan itu di sandarkan pada Tuhan dengan panduan atau pedoman yang telah diberikan yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Segala teori aturan atau manhaj inilah yang merupakan sebuah kesempurnaan dan yang akan memberikan kemaslahatan seperti yang dijanjikan oleh Allas SWT.

C.    Konsep Islam dalam Negara Indonesia
Islam adalah faktor penting dalam bangunan kebangsaan Indonesia. Sumber daya budaya, sosial dan politik serta ekonomi negara ini secara potensial berada dan melekat dalam tubuh warganya yang mayoritas muslim. Kolaborasi Islam dan budaya lokal selama berabad-abad hingga cucuran keringat, air mata dan darah para syuhada’ telah memperkokoh bangunan ke-Indonesia-an modern.
Dengan mempertimbangkan keragaman agama sebagai salah satu faktor dalam nasionalisme, maka perjuangan mewujudkan berlakunya syari’at Islam di tengah-tengah masyarakat dapat dilakukan melalui gerakan-gerakan kultural dan struktural melalui sarana politik, sebagai bentuk dari pengamalan syuro. Dalam konteks ini maka pilihannya bukan negara Islam atau juga system khilafah yang menerapkan syariah atau negara sekuler yang menolak syariah, tapi negara Indonesia yang merealisasikan nilai-nilai universal ajaran agama (Islam) dalam bingkai Ukhuwwah Basyariyyah, Ukhuwwah Islamiyyah, dan Ukhuwwah Wathaniyyah.
Islam dan Nasionalisme Indonesia adalah dua sisi mata uang yang saling memberikan makna.Keduanya tidak bisa diposisikan secara diametral atau dikhotomik.Nasionalisme selalu meletakkan keberagaman atau pluralitas sebagai konteks utama yang darinya dapat melahirkan ikatan dasar yang menyatukan sebuah negara bangsa.Idealnya umat Islam tidak perlu merasa khawatir kehilangan identitasnya karena persenyawaannya dalam negara bangsa. Itulah sebabnya Al mawardi, dalam kitab al-Ahkam al Shulthaniyyah mempersyaratkan keadilan bagi seorang pemimpin negara dan tidak memasukkan syarat harus beragama Islam, dan dalam kitabnya yang lain, yakni Adab al-Dunya wa al-Din ia merumuskan proposisi bahwa umur persatuan sebuah bangsa sesungguhnya ditentukan oleh keadilan dalam bangsa itu. Selama keadilan ada dalam kehidupan bangsa itu, selama itu pula mereka akan tetap bersatu. Begitu keadilan berganti dengan kezhaliman, maka tunggulah saat perpecahan mereka.
D.    Indonesia dengan Islam
Indonesia sebenarnya bisa makmur dengan etika keislamannya, tentunya apabila semua penduduk muslim yang ada di Indonesia adalah muslim yang sholeh, muslim yang sholeh pasti akan bekerja keras, membela negaranya, tidak korupsi, tidak melakukan kejahatan dan selalu takut dengan tuhannya. Sayangnya sebagian muslim yang ada di Indonesia adalah muslimjadi-jadian yang terkadang soleh akan tetapi sering juga Tholih (lawan kata sholih adalahtholih). Sama hal nya di Eropa dan Amerika, apabila kaum protestan yang ada disana bukanlah kaum sholeh belum tentu negaranya bisa kaya dan makmur.
Bagaimana caranya agar Indonesia menjadi negara kaya, dan mengalami pembangunan yang hebat kalau menuruti teorinya max weber? Inilah pertanyaan yang muncul dalam pikiran penulis dan dalam jawaban / pendapat penulis ialah setiap warga Indonesia yang islam harus mengikuti ajarannya dengan sebaik-baiknya, harus tekun beribadah dan giat bekerja seperti apa yang telah disabdakan ALLAH SWT dan nabinya. Kesuksesan dan kekayaan adalah buah dari bekerja keras yang didasari niat untuk beribadah.
Kesimpulan yang bisa diraih dari teori Max Weber dalam pembangunan Indonesia adalah negara Indonesia akan berkembang dan maju, kaya dan makmur apabila masyarakat Indonesia dari berbagai agama harus patuh dan taat terhadap tuhannya. Apabila semua rakyat takut dengan tuhannya, takut apabila besok di hari kiamat masuk neraka pastinya tidak adalagi tindakan kejahatan, produktivitas meningkat, kemiskinan berkurang dan masyarakat akan makmur. Mengapa harus semua agama? padahal mayoritas beragama islam? Hal ini tentu harus dilakukan oleh semua pemeluk agama, semua agama mengajarkan pemeluknya untuk giat bekerja sehingga semua akan membantu pembangunan negara Indonesia yang tercinta ini.



DAFTAR PUSTAKA
http://edukasi.kompasiana.com/hubungan-islam-dengan-indonesia/
Kamaruzzaman.2001.Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernis dan fundamentalis, Magelang: Yayasan Indonesia Tera

Tidak ada komentar:

Posting Komentar