A.
Sifat
dan Hubungan Negara dan Agama
Dalam pemikiran politik Islam Al-Mawardi terdapat tiga paradigma
tentang hubungan agama dan negara:
1. Integrasi, yaitu agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan
(integrated). Wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya,
menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan
sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar "kedaulatan
Ilahi" (divine sovereignty), karena memang kedaulatan itu berasal dan
berada di "tangan" Tuhan. Ajaran normatif bahwa Islam tidak mengenal
pemisahan agama dari negara didukung pula oleh pengalaman umat Islam di Madinah
di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad.
2. Simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling memerlukan.
Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat
berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara
dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.Pandangan tentang simbiosis
agama dan negara ini dapat ditemukan, umpamanya, dalam pemikiran al-Mawardi (w.
1058), seorang teoritikus politik Islam terkemuka pada masa klasik. Pada baris
pertama dari karyanya yang terkenal, al-Ahkam Sulthaniyah, al-Mawardi
menegaskan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk
meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.
3. Sekularistik, yaitu menolak baik hubungan integralistik maupun
hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya paradigma
sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam,
paradigma sekularistik menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling
tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara.
B.
Kekuasaan
dalam Negara
Mengenai timbulnya kekuasaan dalam Negara, Islam mempunyai
pendirian yang berlainan dari teori-teori kekuasaan dalam Negara yang di angkat
oleh para ilmuan barat. Dalam islam di terangkan bahwa Allah telah mengatakan
kepada malaikat bahwa akan menciptakan Adam sebagai penguasa di muka bumi dan
Allah juga menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa Allah mengangkat Daud sebagai
penguasa di bumi. Artinya kekuasaan dalam Islam merupakan mutlak milik Allah
dengan dedelegasikan tugas itu kepada utusan-utusan yaitu manusia yang
dimuliakan oleh Allah yaitu para Nabi dan Rosul.
Akan tetapi teori ini tidak sama dengan teori teokrasi yang dibawa
oleh para ilmuan barat yang menganggap bahwa kekuasaan dalam sebuah Negara itu
merupakan bij gratie Gods (karunia Tuhan) tetapi bagaimana pengusa itu
menggunakan kekuasaan tidak di perdulikan yang akhirnya timbul kekuasaan yang
semena-mena dan di atas namakan Tuhan. Akan tetapi Islam memberi panduan dan
petunjuk dalam melakasanakan amanah-amanah dalam kekuasaan yang telah tercantum
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Kekuasaan dalam Islam mutlak hanya pada Allah SWT adapun didunia
ini didelegasikan pada para utusanya untuk membimbing dan memimpin umatnya yang
disebut para Nabi dan Rasul mulai nabi Adam hingga Muhammad.Setelah Nabi
Muhammad sudah tidak ada lagi nabi berikutnya hingga digantikan oleh para
khalifah.Mulai masa khalifah inilah seluruh tata kehidipan yang ada diatur oleh
seorang khalifah dengan berlandaskan pedoman Al-Qur’an dan Al-Hadits. Semua
perkara diselesaikannya, mulai dari tata cara ibadah, tata kehidupan,
kepemimpinan, sistem kenegaraan semua harus sesuai ddengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Jadi pada dasarnya Islam itu mempunyai teori dan aturan tersendiri
yang sesungguhnya semua aturan itu di sandarkan pada Tuhan dengan panduan atau
pedoman yang telah diberikan yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Segala teori aturan
atau manhaj inilah yang merupakan sebuah kesempurnaan dan yang akan memberikan
kemaslahatan seperti yang dijanjikan oleh Allas SWT.
C.
Konsep
Islam dalam Negara Indonesia
Islam adalah faktor penting dalam bangunan kebangsaan Indonesia.
Sumber daya budaya, sosial dan politik serta ekonomi negara ini secara
potensial berada dan melekat dalam tubuh warganya yang mayoritas muslim.
Kolaborasi Islam dan budaya lokal selama berabad-abad hingga cucuran keringat,
air mata dan darah para syuhada’ telah memperkokoh bangunan ke-Indonesia-an modern.
Dengan
mempertimbangkan keragaman agama sebagai salah satu faktor dalam nasionalisme,
maka perjuangan mewujudkan berlakunya syari’at Islam di tengah-tengah
masyarakat dapat dilakukan melalui gerakan-gerakan kultural dan struktural
melalui sarana politik, sebagai bentuk dari pengamalan syuro. Dalam konteks ini
maka pilihannya bukan negara Islam atau juga system khilafah yang menerapkan
syariah atau negara sekuler yang menolak syariah, tapi negara Indonesia yang
merealisasikan nilai-nilai universal ajaran agama (Islam) dalam bingkai
Ukhuwwah Basyariyyah, Ukhuwwah Islamiyyah, dan Ukhuwwah Wathaniyyah.
Islam dan Nasionalisme Indonesia adalah dua sisi mata uang yang saling
memberikan makna.Keduanya tidak bisa diposisikan secara diametral atau
dikhotomik.Nasionalisme selalu meletakkan keberagaman atau pluralitas sebagai
konteks utama yang darinya dapat melahirkan ikatan dasar yang menyatukan sebuah
negara bangsa.Idealnya umat Islam tidak perlu merasa khawatir kehilangan
identitasnya karena persenyawaannya dalam negara bangsa. Itulah sebabnya Al
mawardi, dalam kitab al-Ahkam al Shulthaniyyah mempersyaratkan
keadilan bagi seorang pemimpin negara dan tidak memasukkan syarat harus
beragama Islam, dan dalam kitabnya yang lain, yakni Adab al-Dunya wa
al-Din ia merumuskan proposisi bahwa umur persatuan sebuah bangsa
sesungguhnya ditentukan oleh keadilan dalam bangsa itu. Selama keadilan ada
dalam kehidupan bangsa itu, selama itu pula mereka akan tetap bersatu. Begitu
keadilan berganti dengan kezhaliman, maka tunggulah saat perpecahan mereka.
D.
Indonesia dengan Islam
Indonesia sebenarnya bisa makmur dengan etika
keislamannya, tentunya apabila semua penduduk muslim yang ada di Indonesia
adalah muslim yang sholeh, muslim yang sholeh pasti akan bekerja keras, membela
negaranya, tidak korupsi, tidak melakukan kejahatan dan selalu takut dengan
tuhannya. Sayangnya sebagian muslim yang ada di Indonesia adalah
muslimjadi-jadian yang terkadang soleh akan tetapi sering juga Tholih (lawan
kata sholih adalahtholih). Sama hal nya di Eropa dan Amerika, apabila kaum
protestan yang ada disana bukanlah kaum sholeh belum tentu negaranya bisa kaya
dan makmur.
Bagaimana caranya agar Indonesia menjadi negara kaya, dan
mengalami pembangunan yang hebat kalau menuruti teorinya max weber? Inilah
pertanyaan yang muncul dalam pikiran penulis dan dalam jawaban / pendapat
penulis ialah setiap warga Indonesia yang islam harus mengikuti ajarannya
dengan sebaik-baiknya, harus tekun beribadah dan giat bekerja seperti apa yang
telah disabdakan ALLAH SWT dan nabinya. Kesuksesan dan kekayaan adalah buah
dari bekerja keras yang didasari niat untuk beribadah.
Kesimpulan yang bisa diraih dari teori Max Weber dalam
pembangunan Indonesia adalah negara Indonesia akan berkembang dan maju, kaya
dan makmur apabila masyarakat Indonesia dari berbagai agama harus patuh dan
taat terhadap tuhannya. Apabila semua rakyat takut dengan tuhannya, takut
apabila besok di hari kiamat masuk neraka pastinya tidak adalagi tindakan
kejahatan, produktivitas meningkat, kemiskinan berkurang dan masyarakat akan
makmur. Mengapa harus semua agama? padahal mayoritas beragama islam? Hal ini
tentu harus dilakukan oleh semua pemeluk agama, semua agama mengajarkan
pemeluknya untuk giat bekerja sehingga semua akan membantu pembangunan negara
Indonesia yang tercinta ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://edukasi.kompasiana.com/hubungan-islam-dengan-indonesia/
Kamaruzzaman.2001.Relasi Islam
dan Negara Perspektif Modernis dan fundamentalis, Magelang: Yayasan
Indonesia Tera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar