Laman

Selasa, 26 Mei 2015

PEMIKIRAN JOHN LOCKE "TWO TREATISES OF GOVERNMENT"



Pokok-Pokok Pemikiran John Locke Dalam Two Treatises Of Government

A.         Perseteruan Intelektual Locke dan Filmer

Sebelum Locke menulis Two Treatises of Government kehidupan politik Inggris dan Perancis Abad XVII didominasi oleh wacana doktrin monarki absolut. Dalam konteks sejarah Inggris, kelahiran doktrin monarki absolut itu merupakan jawaban terhadap kekacauan sosial politik akibat perang saudara dan perang-perang agama yang terjadi pada saat itu.

Monarki absolut didasarkan pada kepercayaan bahwa kekuasaan mutlak raja bersifat ilahiah dan karena itu suci. Tuhanlah yang telah menganugerahkan kekuasaan itu kepada seorang raja. Kepercayaan ini kemudian terkenal dengan sebutan hak-hak ketuhanan raja.,Pandangan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa monarkhi absolut merupakan bentuk pemerintahan paling sesuai dengan kodrat hukum alam karena tiga alasan. Pertama, monarki absolut berakar pada tradisi otoritas paternal. Kedua, sistem pemerintahan monarki absolut merupakan copy Kerajaan Tuhan di muka bumi. Ketiga, monarki absolut merupakan cerminan kekuasaan tunggal Tuhan atas segala sesuatu di dunia ini.

Sementara itu, Locke hadir sebagai penentang gigih terhadap monarki absolut di negaranya. Locke menganggap bahwa monarki absolut bertentangan dengan prinsip civil society yang diyakininya. Dari sinilah sebenarnya letak permusuhan intelektual Locke dengan Sir Robert Filmer, penyokong utama paham absolutisme kekuasaan monarki Eropa Abad XVII yang dituangkan dalam karyanya Patriarcha.

Pandangan Filmer ini sangat mengunggulkan wewenang politis raja karena alasan auctoritas paterna (wewenang selaku ayah) dari Nabi Adam yang diterimanya dari Tuhan dan kemudian diteruskan kepada para raja. Jadi, menurut Filmer, raja, seperti Adam, menerima wewenangnya langsung dari Tuhan dan oleh karena itu tidak bertanggung jawab kepada masyarakat atau parlemen. Apabila disimpulkan, filsafat negara Filmer tersebut berpuncak pada dua tesis penting, yaitu :
(1) setiap kekuasaan bersifat monarki mutlak, dan
(2) tidak ada orang yang lahir bebas.
Dua hal ini kelak ditolak oleh Locke.

B.          Perjanjian Masyarakat

Ajaran Locke tentang negara mempunyai pengaruh yang sangat besar di berbagai belahan dunia. Konsep government by consent of the people (pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat) dan paham kepercayaan (trust) rakyat kepada pemerintah sebagai dasar legitimasinya termasuk paham-paham dasar ilmu politik modern. Kekuasaan tidak lagi dapat menghindari pertanggungjawaban dengan menggunakan argumen bahwa ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian, Locke mengaitkan kembali wewenang pemerintahan pada “delegation”, pada penyerahan pemerintahan itu oleh mereka yang diperintah. Locke membongkar dasar dari klaim raja bahwa kekuasaan mutlak dan tidak terbatas.
Kekuasaan politik, menurut Locke, adalah suatu keadaan alamiah (state of nature) yang di dalamnya terdapat hukum alam yang tidak lain adalah hukum Tuhan yang mengatur keadaan alamiah. Keadaan alamiah ini mendahului eksistensi negara. Dalam keadaan alamiah, manusia itu sama dalam pengertian bahwa semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka. Manusia secara alamiah sebenarnya baik. Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation”. Hak dasar terpenting manusia adalah hak atas hidup dan hak untuk mempertahankan diri. Dengan demikian, manusia dalam keadaan alamiah sebenarnya sudah mengenal hubungan-hubungan sosial. Pandangan Locke yang sangat positif dalam memandang state of nature manusia ini sangat berbeda dengan pendahulunya, yakni Thomas Hobbes yang penuh curiga terhadap state of nature manusia.
Gagasan state of nature yang ditawarkan Locke tersebut sebenarnya tidak lebih orisinil dibanding gagasan state of nature yang ditawarkan Hobbes yang menggambarkan keadaan mula manusia sebagai homo homini lupus dan bellum omnium contra omnes. State of nature dalam konsep Locke diambil dari pemikir sebelumnya yang penuh nuansa teologis. Oleh karena itu, menurut Bertrand Russell, state of nature dalam konsep Locke ini tidak lebih dari sekedar pengulangan doktrin skolastik abad pertengahan. Pelukisannya tentang keadaan alamiah yang bahagia, masih menurut Russel, tidak lain merupakan suatu pengulangan mitos klasik Alkitab mengenai kejayaan masa lampau. Dari pandangan Locke tentang state of nature ini yang kemudian melahirkan konsep perjanjian negara.
Sebagaimana disebut di atas, menurut Locke, negara itu didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang  dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties). Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah inalienable rights (hak-hak yang tidak asing) dan negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut.
Motivasi manusia untuk mendirikan negara, yaitu menjamin hak-hak asasinya, terutama hak miliknya, menjadi tujuan negara. Oleh karena itu, kewajiban-kewajiban utama negara adalah untuk melindungi kehidupan dan hak milik para warga negara. Hanya demi tujuan itulah para warga negara meninggalkan kebebasan mereka dalam keadaan alamiah yang penuh ketakutan itu. Oleh karena itu, negara mempergunankan kekuasaannya untuk memelihara lahir batin kepentingan masyarakat.
Dari penjelasan di atas, Locke tampak sekali telah melakukan desakralisasi terhadap kekuasaan politik. Ia menjadikan kekuasaan politik sepenuhnya bersifat sekuler. Artinya, kekuasaan bersifat duniawi dan sama sekali tidak berkaitan dengan transendensi ketuhanan atau gereja. Ini merupakan perbedaan penting gagasan kekuasaan politik Locke dengan Santo Aquinas, Thomas Aquinas, dan lain-lain.
Pada tingkat ini, gagasan kekuasaan politik Locke memiliki kemiripan dengan gagasan kekuasaan politik Hobbes. Akan tetapi, gagasan Locke banyak dinilai lebih rasional dalam memandang hubungan kekuasaan antara rakyat dan penguasa. Menurut Locke, konstruksi membentuk negara (body Politic), sebagaimana Hobbes, melalui perjanjian masyarakat. Perbedaannya dengan Hobbes adalah kalau dalam perjanjian masyarakat Hobbes lebih menonjolkan satu macam perjanjian, yaitu pactum subjectionis (perjanjian penyerahan), maka dalam perjanjian masyarakat Locke terdapat dua perjanjian, yaitu pactum unionis (perjanjian membentuk negara) dan pactum subjectionis (perjanjian penyerahan).
Pada tahap pertama diadakan pactum unionis (perjanjian membentuk negara), yaitu perjanjian antarindividu untuk membentuk body politic, yaitu negara. Kemudian pada tahap kedua, para individu yang telah membentuk body politic tersebut bersama-sama menyerahkan hak untuk mempertahankan kehidupan dan hak untuk menghukum yang bersumber dari hukum alam. Perjanjian penyerahan ini disebut pactum subjectionis (perjanjian membentuk kesatuan, organisme, atau negara).
Selanjutnya Locke menegaskan bahwa bahwa tujuan dasar dibentuknya suatu kekuasaan politik adalah untuk melindungi dan menjaga kebebasan sipil. Demi melindungi kebebasan sipil itu, cara apa pun boleh dilakukan oleh negara. Negara diperbolehkan menggunakan kekerasan sejauh demi tujuan itu dan bukan tujuan lain seperti kejayaan bangsa, kebajikan bersama, dll.
 Hal ini boleh jadi juga menjadi salah satu pendapat Locke yang sulit untuk dijelaskan dalam dunia modern.

C.          Konstitusi

Untuk mencegah timbulnya negara absolut dan terjaminnya kehidupan civil society, Locke berbicara mengenai peran strategis konstitusi dalam membatasi kekuasaan negara yang dibayangkannya. Konstitusi ini mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai pembatasan prinsipil terhadap kekuasaan negara.

Dalam membahas konstitusionalisme, yang terpenting adalah usaha mempertahankan hak-hak individu untuk terus-menerus menumpuk kekayaan pribadi sejauh tidak merampas hak-hak serupa orang lain. Jadi, konstitusionalisme Locke tidak selalu diartikan sebagai usaha perlindungan terhadap hak-hak individu berhadapan dengan kekuasaan (penindasan) negara.
Terlepas dari perbedaan penafsiran paham konstitusionalisme, gagasan Locke ini telah menempatkan dirinya sebagai pelopor gagasan negara konstitusional dalam sejarah politik Barat. Pada dasarnya, gagasan konstitusionalisme ini didasarkan pada keperluan untuk membatasi kesewenang-wenangan negara.
Konstitusi bagi Locke merupakan elemen yang sangat penting dalam suatu negara, karena di dalamnya termuat aturan-aturan dasar pembatasan kekuasaan dan hak-hak asasi warga negara. Aturan-aturan konstitusional ini tidak boleh dilanggar oleh penguasa negara.

D.         Pemisahan Kekuasaan

Menurut Locke, kemungkinan munculnya negara totaliter juga bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk: kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).
Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik mengenai tugas atau fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya.[28] Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih terjamin.
Kekuasaan legislatif, menurut Locke, tidak boleh dialihkan kepada siapa pun atau lembaga manapun, karena pada hakikatnya kekuasaan legislatif adalah menifestasi pendelegasian kekuasaan rakyat pada negara. Undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif bersifat mengikat kekuasaan aksekutif. Pelaksanaan kekuasaan eksekutif tidak boleh menyimpang dari undang-undang yang telah digariskan oleh parlemen. Hal ini berarti, Locke menempatkan kekuasaan legislatif lebih tinggi daripada kekuasaan eksekutif.
Kemudian timbul pertanyaan, siapakah yang mengontrol kekuasaan legislatif? Locke berpendapat bahwa yang mengontrol kekuasaan legislatif adalah hukum kodrat yang diciptakan Tuhan demi kebajikan seluruh rakyat, menentukan apa yang seharusnya dan tidak dilakukan legislatif misalnya tidak boleh merumuskan undang-undang yang membatasi kebebasan, melanggar hak-hak asasi individu atau bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh mayoritas rakyat.
Sedangkan kekuasaan eksekutif dalam konsep Locke diperlukan untuk membatasi kekuasaan legislatif. Raja merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif ini. Pembatasan ini penting untuk menghindari kekuasaan legislatif mempunyai fungsi kekuasaan eksekutif yang berarti terjadi pemusatan kekuasaan. Eksekutif berhak mengambil tindakan yang melampaui batas wewenang legalnya apabila hal itu dirasakan perlu demi preservation of all dan kebajikan rakyat.
Kekuasaan eksekutif juga berhak memanggil kekuasaan legislatif untuk bersidang. Meskipun demikian, Locke juga menegaskan bahwa apabila eksekutif menyalahi kedudukannya itu, maka hal sama artinya dengan pernyataan perang kepada rakyat. Rakyat diperbolehkan untuk melawannya, bahkan menggunakan kekerasan sekalipun.
Penggunaan kekerasan oleh rakyat yang dibenarkan dalam konsep Locke tersebut cukup mengherankan, mengingat kekerasan ini justru akan membawa pada sikap barbarian yang bertentangan dengan keadaan alamiah manusia. Sebagaimana disebut di atas, dalam keadaan alamiah, manusia itu sama dalam pengertian bahwa semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka. Manusia secara alamiah sebenarnya baik. Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation”.
Akan tetapi, menurut Bertrand Russel, Locke sangat trauma dengan peristiwa politik di Inggris pada tahun 1628-1640, yaitu pada masa Raja Charles memerintah Inggris tanpa mengikutsertakan parlemen. Peristiwa politik ini, menurut Locke, tidak boleh terulang lagi.
Berkaitan dengan kekuasaan federatif, Locke berpendapat bahwa kekuasaan itu berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menetukan perang, perdamaian, liga, dan aliansi antarnegara. Demi alasan praktis, Locke memasukkan kekuasaan federatif ke dalam kekuasaan eksekutif. Kekuasaan seorang raja dalam konsep Locke ini masih sangat besar. Oleh karena itu, Locke menyebutnya dengan monarki moderat (moderated monarchy).
Ajaran pemisahan kekuasaan, terutama setelah dikembangkan oleh Montesquieu, ini kemudian terkenal dengan sebutan Trias Politica. Dari waktu ke waktu, ajaran ini tidak berlangsung secara statis tanpa perkembangan apa pun, tetapi justru bergerak sangat dinamis dan banyak melahirkan ide-ide baru. Secara empiris, sebenarnya tidak ada lagi negara yang secara absolut menerapkan Trias Politica. Dalam negara abad XX apalagi di negara-negara dalam kategori developing countries di mana kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial telah menjadi sedemikian kompleksnya serta kekuasaan eksekutif diserahi tanggung jawab yang semakin besar untuk mengatur hampir semua aspek kehidupan masyarakat, Trias Politica dalam arti pemisahan kekuasaan sebenarnya tidak dapat lagi dipertahankan.

E.          Relasi Pemikiran Hobbes, Locke, dan Rosseau

Ada baiknya menelaah hasil-hasil pemikiran Locke dengan membandingkannya dengan pemikir sebelum dan sesudahnya untuk mengetahui dinamika berpikir konsep tentang negara dan manusia. Hobbes seringkali dianggap orang yang berjasa memperkenalkan teori kontrak sosialnya yang kemudian diikuti oleh dua penerusnya, Locke, dan Rosseau. Walaupun di antara ketiganya ada juga perbedaan-perbedaan yang cukup tajam.
Hobbes memulai pendapatnya dengan memandang secara negatif terhadap manusia. Hobbes berpendapat bahwa individu-individu itu bersifat egois dan saling mencurigai satu sama lain. Karena kebutuhan-kebutuhan mereka harus dipenuhi dalam wilayah dan dari persediaan alamiah yang sama, mereka tidak dapat saling menganggap sepi. Mereka berada dalam situasi persaingan. Individu satu merupakan pesaing bagi individu lainnya, dan karena itu harus dimusuhi. Akhirnya, terpaksa masing-masing mengambil tindakan untuk saling melindungi. Dari pandangan inilah kemudian muncul catchword dari Hobbes yang sangat terkenal, yakni homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lain) dan bellum omnium contra omnes (perang semua lawan semua).
Keadaan inilah yang akhirnya memaksa individu-individu itu untuk mengambil tindakan bersama. Mereka mengadakan perjanjian di antara mereka sendiri dan saling memberi janji untuk mendirikan satu lembaga dengan wewenang mutlak untuk menata mereka melalui undang-undang dan untuk memaksa semua agar taat terhadap undang-undang itu. Mereka menyerahkan semua hak alamiahnya kepada lembaga itu, kecuali tentu hak untuk melindungi diri. Hal ini disebabkan hak itulah yang mendasarkan kerelaan mereka untuk tunduk terhadap lembaga itu. Dari perjanjian bersama ini lahirlah negara.
Perjanjian itu tidak diadakan antara individu-individu dengan negara (karena pada waktu mereka mengadakan perjanjian, negara belum ada), tapi antara individu-individu saja. Isi perjanjian itu adalah untuk manciptakan negara. Jadi, negara bukanlah patner dalam perjanjian itu, tetapi hasil buahnya. Hobbes menarik kesimpulan bahwa negara –karena tidak ikut mengadakan perjanjian itu- tidak terikat olehnya dan tidak dapat juga melanggarnya.
Artinya, dalam perjanjian itu individu-individu menyerahkan semua hak mereka kepada negara, tetapi negara tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap mereka. Begitu mereka selesai menciptakan negara, negara akan berdiri tegak dengan segala hak, tetapi tanpa kewajiban apa pun.
Sebagaimana disebutkan di atas, perbedaan pandangan Locke dan Hobbes dalam perjanjian masyarakat adalah kalau Hobbes lebih menonjolkan satu macam perjanjian, yaitu pactum subjectionis (perjanjian penyerahan), maka dalam perjanjian masyarakat Locke terdapat dua perjanjian, yaitu pactum unionis dan pactum subjectionis.
Menurut R.S. Downie, teori perjanjian negara ini didasarkan pada gagasan bahwa suatu tatanan politis hanya sah sejauh semua yang hidup di dalamnya sebagai orang yang bebas dan sama, dapat menyetujuinya dalam sebuah perjanjian. Ada yang menganggap teori itu sebagai penjelasan tentang asal usul negara secara historis. Artinya, semua negara pernah berdasarkan suatu perjanjian seperti itu (suatu gagasan yang secara historis tidak dapat dipertahankan), dan ada yang menganggapnya sebagai gagasan hipotesis yang mau menjelaskan legitimitas negara. Hobbes termasuk orang yang mempunyai pandangan hipotesis ini.
Sementara itu, Jean-Jacques Rosseau bertolak dari adanya kehendak individual masing-masing orang (volonté particulière). Dari sini, muncullah kehendak semua (volontè de tous). Kemudian, muncullah kehendak umum (volonté générale), yaitu kehendak bersama semua individu yang mengarah kepada kepentingan bersama, kepentingan umum. Kehendak umum itu dapat disaring dari kehendak semua melalui pemungutan suara. Dalam pemungutan suara kepentingan-kepentingan khusus –yang bertentangan satu sama lain- saling meniadakan, sehingga akhirnya tinggal kepentingan umum yang dikehendaki oleh semua.
Dengan demikian, Hobbes dan Locke bertolak dari pengandaian yang sama, yakni mendirikan negara berarti melepaskan beberapa hak kepada negara. Keduanya berbeda pendapat tentang banyaknya hak yang harus dilepaskan oleh individu dan hak yang mana yang tetap dimilikinya berhadapan dengan negara. Keduanya juga membatasi kekuasaan negara walaupun pembatasan Hobbes tidak efektif. Sebaliknya, Locke mengembangkan konstitusi negara untuk menjamin kekuasaan negara tidak melampaui batas yang wajar. Sedangakan Rosseau bertolak dari identitas antara negara dan rakyat. Oleh karena itu, individu melepaskan diri seluruhnya ke dalam negara. Tidak ada apa pun yang tinggal di luar wewenang negara itu. Negara itu total karena identik total dengan rakyat. Di lain pihak, individu tidak melepaskan hak apa pun, karena dengan melepaskan diri ke dalam negara, individu tidak melepaskan diri. Negara bukanlah lembaga yang berhadapan dengan individu-individu sehingga dapat merampas hak-haknya dan perlu dibatasi wewenangnya.
Oleh karena itu, masalah penjaminan hak-hak asasi dan pembatasan kekuasaan hilang bagi Rosseau. Sarana-saran yang dalam pandangan Locke merupakan jaminan itu tidak mempunyai fungsi dalam negara yang dibayangkan Rosseau. Dengan demikian, secara de facto Rosseau sama sekali tidak membatasi kekuasaan negara. Hal ini berbeda dengan Locke yang sangat tegas mengatakan bahwa kekuasaan harus dibatasi.



KESIMPULAN
John Lock (sebagai bapak Hak asasi bukunya Two Traties Civil Governement) John Lock mengenal pula “Homohominilopus”. Oleh karena didorong keinginan untuk merdeka, maka diadakan suatu perjanjian “Faktum Subjektionis dan Factum Unionis”. Rakyat memberikan kekuasaannya kepada pejabat akan tetapi tidak boleh melanggar hak asasi. Karena manusia makhluk berakal dan mempunyai hak asasi yang terdiri dari:
1. hak asasi terhadap badan;
2. hak asasi terhadap nyawa;
3. hak asasi terhadap kehormatan;
4. hak asasi terhadap harta benda;
5. hak asasi terhadap kemerdekaan.
Terdiri dari :
a. fredum from fear,
b. fredum from want,
c. fredum from of state,
d. fredum from of relegion,
e. fredum from of mistake (kesalahan,kekeliruan),
f. fredum from of tobe free. 

John Locke (1632-1704) memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan. Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).
pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hakhak asasi warga negara akan lebih terjamin. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.
John Locke menganut teori Kontrak Sosial/Perjanjian Masyarakat [buku Two Treatises of Government].

Secara singkat, teorinya begini:
1. Setiap individu memiliki hak-hak yang asasi: life, liberty, property yang tidak boleh diganggu gugat.
2. Individu-individu ingin hidup tentram, maka mereka membentuk perjanjian masyarakat. Namun terdapat keharusan rasional agar ketenteraman warga sipil terjamin dan tujuan negara terwujud. Alhasil, masyarakat kemudian membuat perjanjian/kontrak sosial sehingga bisa berbentuk comonnwealth [ingatlah selalu kalau Locke menggunakan istilah "commonwealth", bukan "state"].
3. Negara terbentuk, dengan dikepalai oleh seorang kepala negara yang harus memperhatikan konstitusi/kontrak kesepakatan politik [tidak boleh sewenang-wenang].
4. Terwujudlah negara monarki konstitusional.
5. Kalau raja berubah menjadi lalim, rakyat boleh memberontak, bahkan membunuh raja.
materi referensi:
Buku-buku:
1. Pudja Pramana KA, Ilmu Negara [2009].
2. R. Djokosutono, Kuliah Ilmu Negara [1982].

Teori Pemisahan Kekuasaan Negara
John Locke adalah orang pertama yang mengemukakan teori pemisahan kekuasaan negara dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government” (1660). Ia membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang sebagai berikut:
1.    Legislatif: kekuasaan untuk membuat undang-undang;
2.    Eksekutif: kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang;
3.    Federatif: kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri. (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain seperti:mengumunkan perang dan perdamaian, dan menetapkan perjanjian-perjanjian).
Diilhami pemikiran John Locke, setengah abad kemudian Montesquieu - seorang pengarang, filsuf asal Prancis menulis buku “L’Esprit des Lois” (Jenewa, 1748). Di dalamnya ia menulis tentang sistem pemisahan kekuasaan yang berlaku di Inggris:
1.    Legislatif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan perwakilan rakyat (parlemen);
2.    Eksekutif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh pemerintah;
3.    Yudikatif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya).
Isi ajaran Montesquieu berpangkal pada pemisahan kekuasaan negara (separation of powers) yang terkenal dengan istilah “Trias Politica”. Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu adalah untuk membendung kesewenang-wenangan raja.
Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) harus dipegang oleh badan yang berhak khusus untuk itu. Dalam negara demokratis, kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang itu sepantasnya dipegang oleh badan perwakilan rakyat. Sedangkan kekuasaan melaksanakan undang-undang harus dipegang oleh badan lain, yaitu badan eksekutif. Dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan yustisi, kehakiman) adalah kekuasaan yang berkewajiban memertahankan undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyat. Badan yudikatiflah yang berkuasa memutuskan perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan oleh badan legislatif dan dilaksanakan oleh badan eksekutif.
Walaupun para hakim pada umumnya diangkat oleh kepala negara (eksekutif), mereka berkedudukan istimewa, tidak diperintah oleh kepala negara yang mengangkatnya dan bahkan berhak menghukum kepala negara jika melakukan pelanggaran hukum. Inilah perbedaan mendasar pandangan Montesquieu dan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasasan eksekutif. Montesquieu memandang badan peradilan sebagai kekuasaan independen. Kekuasaan federatif menurut pembagian John Locke justru dimasukkan Montesquieu sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif.
Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan?
Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang dipertahankan dengan jelas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemisahan dalam arti formal adalah pembagian kekuasaan yang tidak dipertahankan secara tegas. Prof.Dr. Ismail Suny, SH, MCL dalam bukunya “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif” berkesimpulan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material sepantasnya disebut separation of powers (pemisahan kekuasaan), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal sebaiknya disebut division of powers (pembagian kekuasaan). Suny juga berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material hanya terdapat di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dan negara-negara Eropa Barat umumnya berlaku pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Meskipun demikian, alat-alat perlengkapan negara tetap dapat dibedakan. Apabila dalam sistem Republik rakyat di negara-negara Eropa Timur dan Tengah sama sekali menolak prinsip pemisahan kekuasaan, maka UUD 1945 membagi perihal kekuasaan negara itu dalam alat-alat perlengkapan negara yang memegang ketiga kekuasaan itu tanpa menekankan pemisahannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar