PELUANG DAN KENDALA PEREMPUAN DI SEKTOR PUBLIK/POLITIK
Perjalanan politik perempuan di
Indonesia telah berkembang pada pasca kemerdekaan, seperti di lembaga
legislatif, di awal pembentukan legislatif (DPR-RIS) misalnya, terdapat 13
anggota wanita, setelah DPR-RIS bubar dibentuk DPR sementara yang beranggotakan
236 anggota, delapan diantaranya wanita (3,4%); DPR-RI (Hasil Pemilu 1955)
jumlah anggota wanita 16 orang dari272 (5,9%); DPR dalam rangka UUD 1945 yang
beranggotakan 262 orang, 15 diantaranya (5,7%) wanita, dan DPR-GR yang
beranggotakan 281 orang, 25 diantaranya (8,9%) wanita.
Persoalannya sekarang adalah
bahwa perkembangan posisi dan peran politik perempuan sangat lamban. Kemudian
secara umum, permasalahan dasar politik perempuan di Indonesia adalah
ketidakadilan yang lahir adanya kesenjangan antara hak politik dan peran
politik yang di perjuangkan. Hal ini disebabkan karena adanya kultur
modernisasi yang menyebabkan mempengaruhi pola pikir dan perilaku kaum
perempuan, sehingga modernisasi yang bersentuhan cenderung melakukan perubahan
dengan tradisi yang cederung mempertahankan statusquo,
yang dapat melahirkan masa transisi bagi perempuan dan pemegang kekuasaan pada
umumnya. Perempuan semakin memiliki kesadaran untuk dapat memperjuangkan
hak-hak sebagai manusia, sebagai warga negara, sebagai penduduk yang seharusnya
mendapatkan perlakuan yang sama terhadap laki-laki.
Gender melihat secara biologis
bahwa perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan yang menjadi bermakna politis,
ekonomis, dan sosial ketika tatanan kultural dalam masyarakat mengenal
pembagian kerja secara hirarkis antara perempuan dan laki-laki yang pada
akhirnya menyebabkan subordinasi perempuan oleh laki-laki baik di sektor publik
maupun domestik.
Dengan pola pikir seperti
inilah maka sistem budaya masyarakat memungkinkan peran perempuan sebagai
subordinasi meskipun memiliki peran ganda. Oleh karenanya pola pikir seperti
ini menempatkan jenis kelamin seseorang jadi faktor yang dapat mempengaruhi
status sosial, kedudukan maupun jabatan politik.
Pembagian kerja secara seksual
tersebut dilakukan atas azas saling menghormati dan menghargai satu sama lain,
artinya pembagian kerja berdasarkan perspektif gender yang berlaku dalam
masyarakat tidak menyebabkan pelecehan dan deskriminasi laki-laki atas
perempuan karena pekerjaan di sektor domestik dipandang lebih rendah daripada
peran pencari nafkah. Tetapi menjadi berbeda ketika pembagian kerja gender
tersebut ternyata membawa implikasi yang
berbeda ketika perempuan mulai memasuki sektor publik.
Saat ini, peran perempuan di
sektor pembangunan cukup meningkat baik pada peran domestik maupun peran
publik. Pada sektor pertama, kehadiran peran perempuan di berbagai organisasi
lebih bersifat partisipatif dan oleh karena itu eksistensi individu lebih
diakui. Posisi-posisi jabatan tertentu lebih dikarenakan kapasitas dan
kapabilitas individu. Sehingga keberadaan organisasi perempuan sebenarnya dapat
dijadikan wahana sosialisasi, pengembangan dan menjadikan arena bargaining bagi
kaum perempuan untuk lebih diperhitungkan karena umumnya mereka lebih
independen.
Sedangkan pada kategori kedua,
peran perempuan yang muncul lebih bersifat mobilisasi karena eksistensi dan
posisi lebih dikarenakan posisi suami, sehingga pola kepengurusannya lebih
bersifat ex-officio. Organisasi juga
bersifat dependen karena sangat ditentukan oleh instansi pembentuknya.
Organisasi-organisasi perempuan
yang cukup beragam agaknya masih cenderung berkonsentrasi pada peran-peran
sosial kemasyarakatan dan peran-peran domestik. Dibanding kaum laki-laki, kaum
perempuan Indonesia belum mampu secara proporsional mempengaruhi proses dan
produk kebijaksanaan (politik) secara lokal maupun nasional. Perkembangan dan
peran politik perempuan berjalan sangat lamban. Sementara itu bila ditinjau
secara yuridis-formal, baik dalam GBHN maupun dalam UUD 45, hak politik antara
laki-laki dan perempuan adalah sama. Dengan demikian, sebenarnya dalam
pembangunan politik yang berjalan selama ini terdapat rantai yang terputus,
sehingga terjadi inkonsistensi implementasi antara hak politik perempuan dengan
peran politiknya. Akibatnya, muncul berbagai gugatan dari kaum perempuan yang
merasa adanya ketidakadilan politik bagi kaumnya.
Ketidakadilan tersebut membuat
kondisi kaum pria secara psikologis merasa kurang aman ketika kaum perempuan
terlalu banyak memasuki wilayah-wilayah publik. Sedangkan bagi perempuan,
aktualisasi diri di sektor publik untuk menentukan diri sendiri dan bukan
menjadi objek kekuasaan orang lain.
Berbeda dengan negara Inggris,
Amerika dan Swedia yang menempatkan wanita sebagai kelompok yang terpisah dari
kepentingan institusional seperti di dalam partai politik. Artinya bahwa
gerakan feminisme tersebut memainkan peranan yang lebih besar dalam perubahan
sosial. Hal inilah yang menunjukkan bahwa aktifitas feminisme sangat
dipengaruhi oleh budaya. Dalam konteks Indonesia, fenomena fenimisme sangat
dipengaruhi oleh faktor patriarkhi yang membuat kaum perempuan menjadi kelompok
marginal.
Meskipun kondisi umum saat ini
masih menguatnya hegemoni paham patriarkhi, tetapi melihat perkembangan kaum
wanita yang optimis akan tercapai wujud masa depan dan peluang wanita untuk
memasuki sektor publik/politik. Sederetan prestasi telah membuktikan di bidang
pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial, jurnalistik dan sebagainya. Maka dengan
kemampuan yang sangat kompetitif, cepat atau lambatnya dominasi struktur
patriarkhi harus disesuaikan dengan mengakomodir berbagai potensi wanita di
dalam bidang kehidupan.
Muncul gerakan-gerakan yang
dimotori oleh kaum perempuan secara akumulatif akan mampu meningkatkan bargaining position wanita. Peluang
tersebut menjadi terbuka dengan pembaharuan konsep dalam GBHN 1998 yang
menekankan pada peran kemandirian peran aktif wanita, kualitas kedudukan
wanita, kualitas kemampuan wanita dan pemberdayaan wanita dalam pembangunan.
Pengakuan dalam GBHN ini merupakan sebuah peluang yang diharapkan menjadi pintu
pembuka proses penyetaraan atas pengakuan terhadap prestasi perempuan dan
laki-laki.
Disisi lain, tuntutan terhadap
penegakkan dan pelaksanaan hak asasi manusia juga semakin gencar. Hal ini
semakin membantu posisi wanita sebagai manusia, bukan sebagai perempuan yang
sering dimarginalisasikan menjadi subordinasi, terdeskriminasi dan sering
mendapatkan perlakuan kasar serta dilecehkan. Didalam GBHN 1998 merumuskan HAM
yang berkonsep general, tidak memberikan perbedaan antara perempuan dan
laki-laki. Statement tersebut menandaskan bahwa perempuan dan laki-laki
merupakan suatu hal hak asasi manusia, dan kemitraan berdasarkan kesetaraan
antara perempuan dan laki-laki adalah syarat bagi pembangunan berkelanjutan
yang berorientasi kepada manusia.
Namun, masih terdapat kendala
yang dihadapi perempuan untuk memasuki dan tetap eksis di sektor
publik/politik. Baik kendala internal (pribadi dan keluarga) maupun kendala
eksternal (sistem dan budaya). Keduanya berpengaruh sangat kuat. Secara umum
yang menjadi kendala bagi wanita paling tidak berakar pada; kuatnya kultur
patriarkhi, keterbatasan kesempatan, lemahnya daya saing wanita, dan budaya
diam.
Kuatnya kultur patriarkhi
berakar pada perspektif tentang kodrat, tugas dan peran wanita yang secara
tradisional meniscayakan bahwa peran dan fungsi wanita diidentifikasikan
sebagai pelaku peran reproduksi dan peran domestik. Sedangkan dari perspektif
kultural, keterpurukan perempuan disebabkan keterbatasan, ketertinggalan, dan
ketidakmampuan kultural perempuan berkompetisi dengan laki-laki. Lalu, dari
perspektif struktural, keterpurukan perempuan terkait dengan model kebijakan
politik yang digulirkan di tengah masyarakat. Semua itu menjadikan kondisi
struktural wanita sangat dirugikan.
Kendala lain yang lebih
bersifat teknis misalnya; wanita memiliki sifat interior, mental minor,
perbedaan sosialisasi politik antara perempuan dan laki-laki, akses yang tidak
sama terhadap sumber daya, ditambah lagi munculnya kecenderungan politisi
perempuan untuk lebih memilih kandidat laki-laki daripada perempuan yang
mengakibatkan terpinggirnya kaum perempuan.
Dari persoalan di atas,
terdapat upaya dalam pemberdayaan politik wanita diantaranya; perlu adanya
perbaikan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik yang dapat menjamin
proses peningkatan persamaan wanita dengan pria sebagai bagian integral dari hak-hak dasar. Jaminan
tersebut harus dapat diimplementasikan melalui kebijaksanaan yang mampu
memberikan peluang didalam lapisan masyarakat, adanya penciptaan lingkungan
secara kondusif bagi pembangunan dan peranan wanita melalui upaya seperti
pengentasan kemiskinan, pendidikan, pelayanan kesehatan dan memperbesar posisi
wanita sebagai pengambil keputusan.
PELUANG PEREMPUAN DALAM JABATAN KEKUASAAN PUBLIK/POLITIK
Penduduk Indonesia yang
sekarang jumlahnya telah melebihi 200 juta jiwa, lebih dari setengahnya adalah
perempuan yang memiliki hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan
laki-laki dalam semua bidang kehidupan. Namun, masih terjadi kesenjangan gender
di berbagai bidang kehidupan tersebut. Misalnya, dalam pekerjaan, meskipun
angkatan kerja wanita semakin meningkat, dalam struktur pasar, tenaga kaum
wanita tidak berada pada struktur yang menguntungkan.
Berbagai macam ketimpangan
gender di berbagai bidang kehidupan di Indonesia, selain ketimpagan gender di
tenagakerjaan seperti di atas, yang tidak adil bagi kaum perempuan, perlu
memperoleh perhatian dan penanganan yang serius dari berbagai pihak termasuk
dari kaum perempuan sendiri. Khusunya pada tingkat nasional, proses pengambilan
keputusan ada pada tingkat politik suprastruktur seperti Lembaga Eksekutif,
Legislatif dan Yudikatif. Pada tingkat inilah kaum perempuan diharapkan mampu
berperan mempengaruhi proses pengambilan keputusan kebijakan umum, sehingga
kebijakan-kebijakan umum pembangunan tidak lagi mengandung bias laki-laki,
sebab suara kaum perempuan yang membawakan aspirasi dan kepentingan umum
perempuan juga diperhitungkan.
Upaya untuk memperbaiki
kehidupan rakyat (laki-laki dan perempuan) pada hakikatnya membutuhkan
pendekatan partisipatif oleh mereka yang berkepentingan yaitu dari rakyat
sendiri. Beraneka ragamnya suku bangsa di Indonesia dengan budaya masing-masing
serta pemilahan masyarakat menurut kelas-kelas yang mana permasalahan dan
kepentingan yang berbeda satu sama lain, maka suatu kebijakan umum yang
digariskan dari atas tanpa memperhatikan keaneka ragaman budaya dan keaneka
ragaman permasalahan kepentingan termasuk permasalahan kepentingan gender yang
ada, akan sulit terlaksana.
Berangkat dari kebutuhan untuk
menegakkan keadilan gender, selain keadilan kelas sosial, itulah perempuan
perlu memiliki kekuasaan publik/politik dalam bentuk otoritas/kewenangan, pada
tingkatan politik suprastruktur dan politik infrastruktur. Dengan demikian,
perempuan berperan dalam pengambilan kebijakan politik. Jumlah perempuan yang
memiliki kekuasaan publik/politik seyogyanya seimbang dengan jumlah laki-laki
agar kebijakan umum yang dihasilkan tidak mengandung bias laki-laki. Selain itu
juga perempuan sebagai pribadi dan sebagai kelompok harus memiliki keberdayaan (empowerment).
Namun juga masih terdapat
kendala yang dihadapi oleh perempuan dalam memperoleh jabatan kekuasaan
publik/politik seperti keadaan yang mencerminkan adanya ketimpangan gender relations dalam politik dimana
politik ditingkat suprastruktur dan ditingkat infrastruktur yang mendominasi
merupakan artikulasi dari suatu hubungan kekuasaan gender yang sudah ada.
Pembagian kerja yang membedakan atas kaum perempuan oleh laki-laki menyebabkan
arena publik adalah arenanya kaum laki-laki dan perempuan hanya berputar di
arena domestik tanpa politiknya. Oleh karena itu jika perempuan ingin berkancah
di dunia politik maka UUD 1945 telah mengaturnya dengan memberikan hak dan
kesempatan kepada semua warga negaranya untuk berperan di semua bidang termasuk
politik, maka berapapun kursi yang terdapat pada lembaga politik dan
pemerintahan yang dapat diduduki oleh perempuan bukanlah hasil dari suatu
proses pengambilan keputusan bersama antara laki-laki dan perempuan.
Politik sebagai artikulasi
hubungan kekuasaan antar gender akan tetap menghambat perempuan untuk memiliki
kekuasaan sekalipun kekuasaan itu bukan dalam pengertian kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain, tetapi kekuasaan dalam arti terhadap diri mereka
sendiri dalam bentuk kemampuan untuk mengutarakan pendapat, permasalahan dan
kepentingan. Kemampuan bernegosiasi, kemampuan menolak sesuatu yang menurutnya
tidak patut untuk dilakukan atau kemampuan untuk bertindak yang menurut
pertimbangannya perlu dilakukan.
Peluang bagi perempuan untuk
memperoleh kekuasaan publik/politik yang selama ini masih belum dimanfaatkan
oleh perempuan sendiri. Sosialisasi gender dan ideologi patriarkhi dalam
keluarga dan masyarakat yang dialami bertahun-tahun telah berhasil membelenggu
pemikiran perempuan bahwa politik adalah dunianya laki-laki dan bukan urusan
perempuan.
peluang perempuan untuk memperoleh kekuasaan politik selama ini adalah adanya ketentuan hukum yang pada prinsipnya tidak membedakan laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan yang sama di bidang apapun.
peluang perempuan untuk memperoleh kekuasaan politik selama ini adalah adanya ketentuan hukum yang pada prinsipnya tidak membedakan laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan yang sama di bidang apapun.
Adanya ketentuan hukum yang
tidak deskriminatif terhadap perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik,
tidak berarti bahwa dalam kenyataan perempuan tidak mengalami hambatan dalam
menggunakan peluangnya. Sebab. Politik sebagai artikulasi hubungan kekuasaan
yang selalu ada dimana-mana.
Selain peluang dalam bentuk
ketentuan hukum, peluang dalam arena politik yang ada dapat dimanfaatkan oleh
perempuan untuk memperoleh kekuasaan publik dan peluang dalam pemberdayaan
perempuan yang berpegang teguh pada ucapan Mary Wollstonecraft bahwa kaum
perempuan Indonesia akan mampu menghindar dari kecenderungan. Melalui
pemberdayaan, sangat diharapkan bahwa politik yang merupakan artikulasi
hubungan kekuasaan antar gender merupakan bukan lagi menjadi penghalang bagi
perempuan untuk memperoleh kekuasaan atas dirinya sendiri dan bukan kekuasaan
atas siapapun terhadap kaum laki-laki.
Sebagai penutup, peluang apapun
yang dimiliki oleh perempuan untuk memperoleh kekuasaan politik, selama politik
tidak saja merupakan kegiatan tetapi juga merupakan artikulasi hubungan
kekuasaan yang ada, maka politik itu sendiri merupakan hambatan struktural yang
paling utama bagi perempuan dan juga bagi kelompok-kelompok lain dalam
masyarakat yang dasar kesubordinasian bukan hanya gender saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar