Laman

Jumat, 15 Mei 2015

Gender dan Seksualitas dalam politik



PELUANG DAN KENDALA PEREMPUAN DI SEKTOR PUBLIK/POLITIK
Perjalanan politik perempuan di Indonesia telah berkembang pada pasca kemerdekaan, seperti di lembaga legislatif, di awal pembentukan legislatif (DPR-RIS) misalnya, terdapat 13 anggota wanita, setelah DPR-RIS bubar dibentuk DPR sementara yang beranggotakan 236 anggota, delapan diantaranya wanita (3,4%); DPR-RI (Hasil Pemilu 1955) jumlah anggota wanita 16 orang dari272 (5,9%); DPR dalam rangka UUD 1945 yang beranggotakan 262 orang, 15 diantaranya (5,7%) wanita, dan DPR-GR yang beranggotakan 281 orang, 25 diantaranya (8,9%) wanita.
Persoalannya sekarang adalah bahwa perkembangan posisi dan peran politik perempuan sangat lamban. Kemudian secara umum, permasalahan dasar politik perempuan di Indonesia adalah ketidakadilan yang lahir adanya kesenjangan antara hak politik dan peran politik yang di perjuangkan. Hal ini disebabkan karena adanya kultur modernisasi yang menyebabkan mempengaruhi pola pikir dan perilaku kaum perempuan, sehingga modernisasi yang bersentuhan cenderung melakukan perubahan dengan tradisi yang cederung mempertahankan statusquo, yang dapat melahirkan masa transisi bagi perempuan dan pemegang kekuasaan pada umumnya. Perempuan semakin memiliki kesadaran untuk dapat memperjuangkan hak-hak sebagai manusia, sebagai warga negara, sebagai penduduk yang seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama terhadap laki-laki.
Gender melihat secara biologis bahwa perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan yang menjadi bermakna politis, ekonomis, dan sosial ketika tatanan kultural dalam masyarakat mengenal pembagian kerja secara hirarkis antara perempuan dan laki-laki yang pada akhirnya menyebabkan subordinasi perempuan oleh laki-laki baik di sektor publik maupun domestik.
Dengan pola pikir seperti inilah maka sistem budaya masyarakat memungkinkan peran perempuan sebagai subordinasi meskipun memiliki peran ganda. Oleh karenanya pola pikir seperti ini menempatkan jenis kelamin seseorang jadi faktor yang dapat mempengaruhi status sosial, kedudukan maupun jabatan politik.
Pembagian kerja secara seksual tersebut dilakukan atas azas saling menghormati dan menghargai satu sama lain, artinya pembagian kerja berdasarkan perspektif gender yang berlaku dalam masyarakat tidak menyebabkan pelecehan dan deskriminasi laki-laki atas perempuan karena pekerjaan di sektor domestik dipandang lebih rendah daripada peran pencari nafkah. Tetapi menjadi berbeda ketika pembagian kerja gender tersebut ternyata membawa implikasi yang  berbeda ketika perempuan mulai memasuki sektor publik.
Saat ini, peran perempuan di sektor pembangunan cukup meningkat baik pada peran domestik maupun peran publik. Pada sektor pertama, kehadiran peran perempuan di berbagai organisasi lebih bersifat partisipatif dan oleh karena itu eksistensi individu lebih diakui. Posisi-posisi jabatan tertentu lebih dikarenakan kapasitas dan kapabilitas individu. Sehingga keberadaan organisasi perempuan sebenarnya dapat dijadikan wahana sosialisasi, pengembangan dan menjadikan arena bargaining bagi kaum perempuan untuk lebih diperhitungkan karena umumnya mereka lebih independen.
Sedangkan pada kategori kedua, peran perempuan yang muncul lebih bersifat mobilisasi karena eksistensi dan posisi lebih dikarenakan posisi suami, sehingga pola kepengurusannya lebih bersifat ex-officio. Organisasi juga bersifat dependen karena sangat ditentukan oleh instansi pembentuknya.
Organisasi-organisasi perempuan yang cukup beragam agaknya masih cenderung berkonsentrasi pada peran-peran sosial kemasyarakatan dan peran-peran domestik. Dibanding kaum laki-laki, kaum perempuan Indonesia belum mampu secara proporsional mempengaruhi proses dan produk kebijaksanaan (politik) secara lokal maupun nasional. Perkembangan dan peran politik perempuan berjalan sangat lamban. Sementara itu bila ditinjau secara yuridis-formal, baik dalam GBHN maupun dalam UUD 45, hak politik antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Dengan demikian, sebenarnya dalam pembangunan politik yang berjalan selama ini terdapat rantai yang terputus, sehingga terjadi inkonsistensi implementasi antara hak politik perempuan dengan peran politiknya. Akibatnya, muncul berbagai gugatan dari kaum perempuan yang merasa adanya ketidakadilan politik bagi kaumnya.
Ketidakadilan tersebut membuat kondisi kaum pria secara psikologis merasa kurang aman ketika kaum perempuan terlalu banyak memasuki wilayah-wilayah publik. Sedangkan bagi perempuan, aktualisasi diri di sektor publik untuk menentukan diri sendiri dan bukan menjadi objek kekuasaan orang lain.
Berbeda dengan negara Inggris, Amerika dan Swedia yang menempatkan wanita sebagai kelompok yang terpisah dari kepentingan institusional seperti di dalam partai politik. Artinya bahwa gerakan feminisme tersebut memainkan peranan yang lebih besar dalam perubahan sosial. Hal inilah yang menunjukkan bahwa aktifitas feminisme sangat dipengaruhi oleh budaya. Dalam konteks Indonesia, fenomena fenimisme sangat dipengaruhi oleh faktor patriarkhi yang membuat kaum perempuan menjadi kelompok marginal.
Meskipun kondisi umum saat ini masih menguatnya hegemoni paham patriarkhi, tetapi melihat perkembangan kaum wanita yang optimis akan tercapai wujud masa depan dan peluang wanita untuk memasuki sektor publik/politik. Sederetan prestasi telah membuktikan di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial, jurnalistik dan sebagainya. Maka dengan kemampuan yang sangat kompetitif, cepat atau lambatnya dominasi struktur patriarkhi harus disesuaikan dengan mengakomodir berbagai potensi wanita di dalam bidang kehidupan.
Muncul gerakan-gerakan yang dimotori oleh kaum perempuan secara akumulatif akan mampu meningkatkan bargaining position wanita. Peluang tersebut menjadi terbuka dengan pembaharuan konsep dalam GBHN 1998 yang menekankan pada peran kemandirian peran aktif wanita, kualitas kedudukan wanita, kualitas kemampuan wanita dan pemberdayaan wanita dalam pembangunan. Pengakuan dalam GBHN ini merupakan sebuah peluang yang diharapkan menjadi pintu pembuka proses penyetaraan atas pengakuan terhadap prestasi perempuan dan laki-laki.
Disisi lain, tuntutan terhadap penegakkan dan pelaksanaan hak asasi manusia juga semakin gencar. Hal ini semakin membantu posisi wanita sebagai manusia, bukan sebagai perempuan yang sering dimarginalisasikan menjadi subordinasi, terdeskriminasi dan sering mendapatkan perlakuan kasar serta dilecehkan. Didalam GBHN 1998 merumuskan HAM yang berkonsep general, tidak memberikan perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Statement tersebut menandaskan bahwa perempuan dan laki-laki merupakan suatu hal hak asasi manusia, dan kemitraan berdasarkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki adalah syarat bagi pembangunan berkelanjutan yang berorientasi kepada manusia.
Namun, masih terdapat kendala yang dihadapi perempuan untuk memasuki dan tetap eksis di sektor publik/politik. Baik kendala internal (pribadi dan keluarga) maupun kendala eksternal (sistem dan budaya). Keduanya berpengaruh sangat kuat. Secara umum yang menjadi kendala bagi wanita paling tidak berakar pada; kuatnya kultur patriarkhi, keterbatasan kesempatan, lemahnya daya saing wanita, dan budaya diam.
Kuatnya kultur patriarkhi berakar pada perspektif tentang kodrat, tugas dan peran wanita yang secara tradisional meniscayakan bahwa peran dan fungsi wanita diidentifikasikan sebagai pelaku peran reproduksi dan peran domestik. Sedangkan dari perspektif kultural, keterpurukan perempuan disebabkan keterbatasan, ketertinggalan, dan ketidakmampuan kultural perempuan berkompetisi dengan laki-laki. Lalu, dari perspektif struktural, keterpurukan perempuan terkait dengan model kebijakan politik yang digulirkan di tengah masyarakat. Semua itu menjadikan kondisi struktural wanita sangat dirugikan.
Kendala lain yang lebih bersifat teknis misalnya; wanita memiliki sifat interior, mental minor, perbedaan sosialisasi politik antara perempuan dan laki-laki, akses yang tidak sama terhadap sumber daya, ditambah lagi munculnya kecenderungan politisi perempuan untuk lebih memilih kandidat laki-laki daripada perempuan yang mengakibatkan terpinggirnya kaum perempuan.
Dari persoalan di atas, terdapat upaya dalam pemberdayaan politik wanita diantaranya; perlu adanya perbaikan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik yang dapat menjamin proses peningkatan persamaan wanita dengan pria sebagai bagian integral dari hak-hak dasar. Jaminan tersebut harus dapat diimplementasikan melalui kebijaksanaan yang mampu memberikan peluang didalam lapisan masyarakat, adanya penciptaan lingkungan secara kondusif bagi pembangunan dan peranan wanita melalui upaya seperti pengentasan kemiskinan, pendidikan, pelayanan kesehatan dan memperbesar posisi wanita sebagai pengambil keputusan.

PELUANG PEREMPUAN DALAM JABATAN KEKUASAAN PUBLIK/POLITIK
Penduduk Indonesia yang sekarang jumlahnya telah melebihi 200 juta jiwa, lebih dari setengahnya adalah perempuan yang memiliki hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam semua bidang kehidupan. Namun, masih terjadi kesenjangan gender di berbagai bidang kehidupan tersebut. Misalnya, dalam pekerjaan, meskipun angkatan kerja wanita semakin meningkat, dalam struktur pasar, tenaga kaum wanita tidak berada pada struktur yang menguntungkan.
Berbagai macam ketimpangan gender di berbagai bidang kehidupan di Indonesia, selain ketimpagan gender di tenagakerjaan seperti di atas, yang tidak adil bagi kaum perempuan, perlu memperoleh perhatian dan penanganan yang serius dari berbagai pihak termasuk dari kaum perempuan sendiri. Khusunya pada tingkat nasional, proses pengambilan keputusan ada pada tingkat politik suprastruktur seperti Lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Pada tingkat inilah kaum perempuan diharapkan mampu berperan mempengaruhi proses pengambilan keputusan kebijakan umum, sehingga kebijakan-kebijakan umum pembangunan tidak lagi mengandung bias laki-laki, sebab suara kaum perempuan yang membawakan aspirasi dan kepentingan umum perempuan juga diperhitungkan.
Upaya untuk memperbaiki kehidupan rakyat (laki-laki dan perempuan) pada hakikatnya membutuhkan pendekatan partisipatif oleh mereka yang berkepentingan yaitu dari rakyat sendiri. Beraneka ragamnya suku bangsa di Indonesia dengan budaya masing-masing serta pemilahan masyarakat menurut kelas-kelas yang mana permasalahan dan kepentingan yang berbeda satu sama lain, maka suatu kebijakan umum yang digariskan dari atas tanpa memperhatikan keaneka ragaman budaya dan keaneka ragaman permasalahan kepentingan termasuk permasalahan kepentingan gender yang ada, akan sulit terlaksana.
Berangkat dari kebutuhan untuk menegakkan keadilan gender, selain keadilan kelas sosial, itulah perempuan perlu memiliki kekuasaan publik/politik dalam bentuk otoritas/kewenangan, pada tingkatan politik suprastruktur dan politik infrastruktur. Dengan demikian, perempuan berperan dalam pengambilan kebijakan politik. Jumlah perempuan yang memiliki kekuasaan publik/politik seyogyanya seimbang dengan jumlah laki-laki agar kebijakan umum yang dihasilkan tidak mengandung bias laki-laki. Selain itu juga perempuan sebagai pribadi dan sebagai kelompok harus memiliki keberdayaan (empowerment).
Namun juga masih terdapat kendala yang dihadapi oleh perempuan dalam memperoleh jabatan kekuasaan publik/politik seperti keadaan yang mencerminkan adanya ketimpangan gender relations dalam politik dimana politik ditingkat suprastruktur dan ditingkat infrastruktur yang mendominasi merupakan artikulasi dari suatu hubungan kekuasaan gender yang sudah ada. Pembagian kerja yang membedakan atas kaum perempuan oleh laki-laki menyebabkan arena publik adalah arenanya kaum laki-laki dan perempuan hanya berputar di arena domestik tanpa politiknya. Oleh karena itu jika perempuan ingin berkancah di dunia politik maka UUD 1945 telah mengaturnya dengan memberikan hak dan kesempatan kepada semua warga negaranya untuk berperan di semua bidang termasuk politik, maka berapapun kursi yang terdapat pada lembaga politik dan pemerintahan yang dapat diduduki oleh perempuan bukanlah hasil dari suatu proses pengambilan keputusan bersama antara laki-laki dan perempuan.
Politik sebagai artikulasi hubungan kekuasaan antar gender akan tetap menghambat perempuan untuk memiliki kekuasaan sekalipun kekuasaan itu bukan dalam pengertian kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, tetapi kekuasaan dalam arti terhadap diri mereka sendiri dalam bentuk kemampuan untuk mengutarakan pendapat, permasalahan dan kepentingan. Kemampuan bernegosiasi, kemampuan menolak sesuatu yang menurutnya tidak patut untuk dilakukan atau kemampuan untuk bertindak yang menurut pertimbangannya perlu dilakukan.
Peluang bagi perempuan untuk memperoleh kekuasaan publik/politik yang selama ini masih belum dimanfaatkan oleh perempuan sendiri. Sosialisasi gender dan ideologi patriarkhi dalam keluarga dan masyarakat yang dialami bertahun-tahun telah berhasil membelenggu pemikiran perempuan bahwa politik adalah dunianya laki-laki dan bukan urusan perempuan.
peluang perempuan untuk memperoleh kekuasaan politik selama ini adalah adanya ketentuan hukum yang pada prinsipnya tidak membedakan laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan yang sama di bidang apapun.
Adanya ketentuan hukum yang tidak deskriminatif terhadap perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik, tidak berarti bahwa dalam kenyataan perempuan tidak mengalami hambatan dalam menggunakan peluangnya. Sebab. Politik sebagai artikulasi hubungan kekuasaan yang selalu ada dimana-mana.
Selain peluang dalam bentuk ketentuan hukum, peluang dalam arena politik yang ada dapat dimanfaatkan oleh perempuan untuk memperoleh kekuasaan publik dan peluang dalam pemberdayaan perempuan yang berpegang teguh pada ucapan Mary Wollstonecraft bahwa kaum perempuan Indonesia akan mampu menghindar dari kecenderungan. Melalui pemberdayaan, sangat diharapkan bahwa politik yang merupakan artikulasi hubungan kekuasaan antar gender merupakan bukan lagi menjadi penghalang bagi perempuan untuk memperoleh kekuasaan atas dirinya sendiri dan bukan kekuasaan atas siapapun terhadap kaum laki-laki.
Sebagai penutup, peluang apapun yang dimiliki oleh perempuan untuk memperoleh kekuasaan politik, selama politik tidak saja merupakan kegiatan tetapi juga merupakan artikulasi hubungan kekuasaan yang ada, maka politik itu sendiri merupakan hambatan struktural yang paling utama bagi perempuan dan juga bagi kelompok-kelompok lain dalam masyarakat yang dasar kesubordinasian bukan hanya gender saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar