Pokok-Pokok
Pemikiran John Locke Dalam Two Treatises Of Government
A.
Perseteruan
Intelektual Locke dan Filmer
Sebelum Locke menulis Two Treatises of Government kehidupan politik Inggris dan
Perancis Abad XVII didominasi oleh wacana doktrin monarki absolut. Dalam
konteks sejarah Inggris, kelahiran doktrin monarki absolut itu merupakan
jawaban terhadap kekacauan sosial politik akibat perang saudara dan
perang-perang agama yang terjadi pada saat itu.
Monarki absolut didasarkan pada
kepercayaan bahwa kekuasaan mutlak raja bersifat ilahiah dan karena itu suci.
Tuhanlah yang telah menganugerahkan kekuasaan itu kepada seorang raja.
Kepercayaan ini kemudian terkenal dengan sebutan hak-hak ketuhanan raja.,Pandangan
ini dilandasi oleh pemikiran bahwa monarkhi absolut merupakan bentuk
pemerintahan paling sesuai dengan kodrat hukum alam karena tiga alasan.
Pertama, monarki absolut berakar pada tradisi otoritas paternal. Kedua, sistem
pemerintahan monarki absolut merupakan copy Kerajaan Tuhan di muka bumi. Ketiga,
monarki absolut merupakan cerminan kekuasaan tunggal Tuhan atas segala sesuatu
di dunia ini.
Sementara itu, Locke hadir sebagai
penentang gigih terhadap monarki absolut di negaranya. Locke menganggap bahwa
monarki absolut bertentangan dengan prinsip civil society yang diyakininya.
Dari sinilah sebenarnya letak permusuhan intelektual Locke dengan Sir Robert
Filmer, penyokong utama paham absolutisme kekuasaan monarki Eropa Abad XVII
yang dituangkan dalam karyanya Patriarcha.
Pandangan Filmer ini sangat mengunggulkan
wewenang politis raja karena alasan auctoritas paterna (wewenang selaku ayah)
dari Nabi Adam yang diterimanya dari Tuhan dan kemudian diteruskan kepada para
raja. Jadi, menurut Filmer, raja, seperti Adam, menerima wewenangnya langsung
dari Tuhan dan oleh karena itu tidak bertanggung jawab kepada masyarakat atau
parlemen. Apabila disimpulkan, filsafat negara Filmer tersebut berpuncak pada
dua tesis penting, yaitu :
(1) setiap kekuasaan bersifat
monarki mutlak, dan
(2) tidak ada orang yang lahir bebas.
Dua hal ini kelak ditolak oleh
Locke.
B.
Perjanjian Masyarakat
Ajaran Locke tentang negara mempunyai pengaruh yang sangat besar di berbagai
belahan dunia. Konsep government by consent of the people (pemerintahan
berdasarkan persetujuan rakyat) dan paham kepercayaan (trust) rakyat kepada
pemerintah sebagai dasar legitimasinya termasuk paham-paham dasar ilmu politik
modern. Kekuasaan tidak lagi dapat menghindari pertanggungjawaban dengan
menggunakan argumen bahwa ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan
demikian, Locke mengaitkan kembali wewenang pemerintahan pada “delegation”,
pada penyerahan pemerintahan itu oleh mereka yang diperintah. Locke membongkar
dasar dari klaim raja bahwa kekuasaan mutlak dan tidak terbatas.
Kekuasaan politik, menurut Locke,
adalah suatu keadaan alamiah (state of nature) yang di dalamnya terdapat hukum
alam yang tidak lain adalah hukum Tuhan yang mengatur keadaan alamiah. Keadaan
alamiah ini mendahului eksistensi negara. Dalam keadaan alamiah, manusia itu
sama dalam pengertian bahwa semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan
kemampuan mereka. Manusia secara alamiah sebenarnya baik. Oleh karena itu,
keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance,
and preservation”. Hak dasar terpenting manusia adalah hak atas hidup dan hak
untuk mempertahankan diri. Dengan demikian, manusia dalam keadaan alamiah
sebenarnya sudah mengenal hubungan-hubungan sosial. Pandangan Locke yang sangat
positif dalam memandang state of nature manusia ini sangat berbeda dengan
pendahulunya, yakni Thomas Hobbes yang penuh curiga terhadap state of nature
manusia.
Gagasan state of nature yang
ditawarkan Locke tersebut sebenarnya tidak lebih orisinil dibanding gagasan
state of nature yang ditawarkan Hobbes yang menggambarkan keadaan mula manusia
sebagai homo homini lupus dan bellum omnium contra omnes. State of nature dalam
konsep Locke diambil dari pemikir sebelumnya yang penuh nuansa teologis. Oleh
karena itu, menurut Bertrand Russell, state of nature dalam konsep Locke ini
tidak lebih dari sekedar pengulangan doktrin skolastik abad pertengahan.
Pelukisannya tentang keadaan alamiah yang bahagia, masih menurut Russel, tidak
lain merupakan suatu pengulangan mitos klasik Alkitab mengenai kejayaan masa
lampau. Dari pandangan Locke tentang state of nature ini yang kemudian
melahirkan konsep perjanjian negara.
Sebagaimana disebut di atas,
menurut Locke, negara itu didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. Negara
didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan
milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan
milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property)
yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi
juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties). Locke menyebut hak-hak ini
dengan istilah inalienable rights (hak-hak yang tidak asing) dan negara justru
didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut.
Motivasi manusia untuk mendirikan
negara, yaitu menjamin hak-hak asasinya, terutama hak miliknya, menjadi tujuan
negara. Oleh karena itu, kewajiban-kewajiban utama negara adalah untuk
melindungi kehidupan dan hak milik para warga negara. Hanya demi tujuan itulah
para warga negara meninggalkan kebebasan mereka dalam keadaan alamiah yang
penuh ketakutan itu. Oleh karena itu, negara mempergunankan kekuasaannya untuk
memelihara lahir batin kepentingan masyarakat.
Dari penjelasan di atas, Locke
tampak sekali telah melakukan desakralisasi terhadap kekuasaan politik. Ia
menjadikan kekuasaan politik sepenuhnya bersifat sekuler. Artinya, kekuasaan
bersifat duniawi dan sama sekali tidak berkaitan dengan transendensi ketuhanan
atau gereja. Ini merupakan perbedaan penting gagasan kekuasaan politik Locke
dengan Santo Aquinas, Thomas Aquinas, dan lain-lain.
Pada tingkat ini, gagasan kekuasaan
politik Locke memiliki kemiripan dengan gagasan kekuasaan politik Hobbes. Akan
tetapi, gagasan Locke banyak dinilai lebih rasional dalam memandang hubungan
kekuasaan antara rakyat dan penguasa. Menurut Locke, konstruksi membentuk
negara (body Politic), sebagaimana Hobbes, melalui perjanjian masyarakat.
Perbedaannya dengan Hobbes adalah kalau dalam perjanjian masyarakat Hobbes
lebih menonjolkan satu macam perjanjian, yaitu pactum subjectionis (perjanjian
penyerahan), maka dalam perjanjian masyarakat Locke terdapat dua perjanjian,
yaitu pactum unionis (perjanjian membentuk negara) dan pactum subjectionis
(perjanjian penyerahan).
Pada tahap pertama diadakan pactum
unionis (perjanjian membentuk negara), yaitu perjanjian antarindividu untuk
membentuk body politic, yaitu negara. Kemudian pada tahap kedua, para individu
yang telah membentuk body politic tersebut bersama-sama menyerahkan hak untuk
mempertahankan kehidupan dan hak untuk menghukum yang bersumber dari hukum
alam. Perjanjian penyerahan ini disebut pactum subjectionis (perjanjian
membentuk kesatuan, organisme, atau negara).
Selanjutnya Locke menegaskan bahwa
bahwa tujuan dasar dibentuknya suatu kekuasaan politik adalah untuk melindungi dan
menjaga kebebasan sipil. Demi melindungi kebebasan sipil itu, cara apa pun
boleh dilakukan oleh negara. Negara diperbolehkan menggunakan kekerasan sejauh
demi tujuan itu dan bukan tujuan lain seperti kejayaan bangsa, kebajikan
bersama, dll.
Hal ini boleh jadi juga menjadi salah satu
pendapat Locke yang sulit untuk dijelaskan dalam dunia modern.
C.
Konstitusi
Untuk mencegah timbulnya negara absolut dan terjaminnya kehidupan civil
society, Locke berbicara mengenai peran strategis konstitusi dalam membatasi
kekuasaan negara yang dibayangkannya. Konstitusi ini mempunyai fungsi yang sangat
penting sebagai pembatasan prinsipil terhadap kekuasaan negara.
Dalam membahas konstitusionalisme,
yang terpenting adalah usaha mempertahankan hak-hak individu untuk terus-menerus
menumpuk kekayaan pribadi sejauh tidak merampas hak-hak serupa orang lain.
Jadi, konstitusionalisme Locke tidak selalu diartikan sebagai usaha
perlindungan terhadap hak-hak individu berhadapan dengan kekuasaan (penindasan)
negara.
Terlepas dari perbedaan penafsiran
paham konstitusionalisme, gagasan Locke ini telah menempatkan dirinya sebagai
pelopor gagasan negara konstitusional dalam sejarah politik Barat. Pada
dasarnya, gagasan konstitusionalisme ini didasarkan pada keperluan untuk
membatasi kesewenang-wenangan negara.
Konstitusi bagi Locke merupakan
elemen yang sangat penting dalam suatu negara, karena di dalamnya termuat
aturan-aturan dasar pembatasan kekuasaan dan hak-hak asasi warga negara.
Aturan-aturan konstitusional ini tidak boleh dilanggar oleh penguasa negara.
D.
Pemisahan Kekuasaan
Menurut Locke, kemungkinan munculnya negara totaliter juga bisa dihindari
dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi
dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga.
Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke
dalam tiga bentuk: kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan
eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).
Kekuasaan legislatif adalah lembaga
yang membuat undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya.
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang dan
peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan
kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah hubungan
luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi
antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. Ketiga cabang
kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik mengenai tugas atau
fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya.[28] Dengan
demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau
badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh
pihak yang berkuasa. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan
lebih terjamin.
Kekuasaan legislatif, menurut
Locke, tidak boleh dialihkan kepada siapa pun atau lembaga manapun, karena pada
hakikatnya kekuasaan legislatif adalah menifestasi pendelegasian kekuasaan
rakyat pada negara. Undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif
bersifat mengikat kekuasaan aksekutif. Pelaksanaan kekuasaan eksekutif tidak
boleh menyimpang dari undang-undang yang telah digariskan oleh parlemen. Hal
ini berarti, Locke menempatkan kekuasaan legislatif lebih tinggi daripada
kekuasaan eksekutif.
Kemudian timbul pertanyaan,
siapakah yang mengontrol kekuasaan legislatif? Locke berpendapat bahwa yang
mengontrol kekuasaan legislatif adalah hukum kodrat yang diciptakan Tuhan demi
kebajikan seluruh rakyat, menentukan apa yang seharusnya dan tidak dilakukan
legislatif misalnya tidak boleh merumuskan undang-undang yang membatasi
kebebasan, melanggar hak-hak asasi individu atau bertentangan dengan tujuan
yang hendak dicapai oleh mayoritas rakyat.
Sedangkan kekuasaan eksekutif dalam
konsep Locke diperlukan untuk membatasi kekuasaan legislatif. Raja merupakan
bagian dari kekuasaan eksekutif ini. Pembatasan ini penting untuk menghindari
kekuasaan legislatif mempunyai fungsi kekuasaan eksekutif yang berarti terjadi
pemusatan kekuasaan. Eksekutif berhak mengambil tindakan yang melampaui batas
wewenang legalnya apabila hal itu dirasakan perlu demi preservation of all dan
kebajikan rakyat.
Kekuasaan eksekutif juga berhak
memanggil kekuasaan legislatif untuk bersidang. Meskipun demikian, Locke juga
menegaskan bahwa apabila eksekutif menyalahi kedudukannya itu, maka hal sama
artinya dengan pernyataan perang kepada rakyat. Rakyat diperbolehkan untuk
melawannya, bahkan menggunakan kekerasan sekalipun.
Penggunaan kekerasan oleh rakyat
yang dibenarkan dalam konsep Locke tersebut cukup mengherankan, mengingat
kekerasan ini justru akan membawa pada sikap barbarian yang bertentangan dengan
keadaan alamiah manusia. Sebagaimana disebut di atas, dalam keadaan alamiah,
manusia itu sama dalam pengertian bahwa semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan
kemampuan mereka. Manusia secara alamiah sebenarnya baik. Oleh karena itu,
keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance,
and preservation”.
Akan tetapi, menurut Bertrand
Russel, Locke sangat trauma dengan peristiwa politik di Inggris pada tahun
1628-1640, yaitu pada masa Raja Charles memerintah Inggris tanpa
mengikutsertakan parlemen. Peristiwa politik ini, menurut Locke, tidak boleh
terulang lagi.
Berkaitan dengan kekuasaan
federatif, Locke berpendapat bahwa kekuasaan itu berkaitan dengan masalah
hubungan luar negeri, kekuasaan menetukan perang, perdamaian, liga, dan aliansi
antarnegara. Demi alasan praktis, Locke memasukkan kekuasaan federatif ke dalam
kekuasaan eksekutif. Kekuasaan seorang raja dalam konsep Locke ini masih sangat
besar. Oleh karena itu, Locke menyebutnya dengan monarki moderat (moderated
monarchy).
Ajaran pemisahan kekuasaan,
terutama setelah dikembangkan oleh Montesquieu, ini kemudian terkenal dengan
sebutan Trias Politica. Dari waktu ke waktu, ajaran ini tidak berlangsung
secara statis tanpa perkembangan apa pun, tetapi justru bergerak sangat dinamis
dan banyak melahirkan ide-ide baru. Secara empiris, sebenarnya tidak ada lagi
negara yang secara absolut menerapkan Trias Politica. Dalam negara abad XX
apalagi di negara-negara dalam kategori developing countries di mana kehidupan
ekonomi dan kehidupan sosial telah menjadi sedemikian kompleksnya serta
kekuasaan eksekutif diserahi tanggung jawab yang semakin besar untuk mengatur
hampir semua aspek kehidupan masyarakat, Trias Politica dalam arti pemisahan
kekuasaan sebenarnya tidak dapat lagi dipertahankan.
E.
Relasi Pemikiran
Hobbes, Locke, dan Rosseau
Ada baiknya menelaah hasil-hasil pemikiran Locke dengan membandingkannya dengan
pemikir sebelum dan sesudahnya untuk mengetahui dinamika berpikir konsep
tentang negara dan manusia. Hobbes seringkali dianggap orang yang berjasa
memperkenalkan teori kontrak sosialnya yang kemudian diikuti oleh dua
penerusnya, Locke, dan Rosseau. Walaupun di antara ketiganya ada juga
perbedaan-perbedaan yang cukup tajam.
Hobbes memulai pendapatnya dengan
memandang secara negatif terhadap manusia. Hobbes berpendapat bahwa
individu-individu itu bersifat egois dan saling mencurigai satu sama lain.
Karena kebutuhan-kebutuhan mereka harus dipenuhi dalam wilayah dan dari
persediaan alamiah yang sama, mereka tidak dapat saling menganggap sepi. Mereka
berada dalam situasi persaingan. Individu satu merupakan pesaing bagi individu
lainnya, dan karena itu harus dimusuhi. Akhirnya, terpaksa masing-masing
mengambil tindakan untuk saling melindungi. Dari pandangan inilah kemudian
muncul catchword dari Hobbes yang sangat terkenal, yakni homo homini lupus
(manusia adalah serigala bagi manusia lain) dan bellum omnium contra omnes
(perang semua lawan semua).
Keadaan inilah yang akhirnya
memaksa individu-individu itu untuk mengambil tindakan bersama. Mereka
mengadakan perjanjian di antara mereka sendiri dan saling memberi janji untuk
mendirikan satu lembaga dengan wewenang mutlak untuk menata mereka melalui
undang-undang dan untuk memaksa semua agar taat terhadap undang-undang itu.
Mereka menyerahkan semua hak alamiahnya kepada lembaga itu, kecuali tentu hak
untuk melindungi diri. Hal ini disebabkan hak itulah yang mendasarkan kerelaan
mereka untuk tunduk terhadap lembaga itu. Dari perjanjian bersama ini lahirlah
negara.
Perjanjian itu tidak diadakan
antara individu-individu dengan negara (karena pada waktu mereka mengadakan
perjanjian, negara belum ada), tapi antara individu-individu saja. Isi
perjanjian itu adalah untuk manciptakan negara. Jadi, negara bukanlah patner
dalam perjanjian itu, tetapi hasil buahnya. Hobbes menarik kesimpulan bahwa
negara –karena tidak ikut mengadakan perjanjian itu- tidak terikat olehnya dan
tidak dapat juga melanggarnya.
Artinya, dalam perjanjian itu
individu-individu menyerahkan semua hak mereka kepada negara, tetapi negara
tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap mereka. Begitu mereka selesai
menciptakan negara, negara akan berdiri tegak dengan segala hak, tetapi tanpa
kewajiban apa pun.
Sebagaimana disebutkan di atas,
perbedaan pandangan Locke dan Hobbes dalam perjanjian masyarakat adalah kalau
Hobbes lebih menonjolkan satu macam perjanjian, yaitu pactum subjectionis
(perjanjian penyerahan), maka dalam perjanjian masyarakat Locke terdapat dua
perjanjian, yaitu pactum unionis dan pactum subjectionis.
Menurut R.S. Downie, teori
perjanjian negara ini didasarkan pada gagasan bahwa suatu tatanan politis hanya
sah sejauh semua yang hidup di dalamnya sebagai orang yang bebas dan sama,
dapat menyetujuinya dalam sebuah perjanjian. Ada yang menganggap teori itu
sebagai penjelasan tentang asal usul negara secara historis. Artinya, semua
negara pernah berdasarkan suatu perjanjian seperti itu (suatu gagasan yang
secara historis tidak dapat dipertahankan), dan ada yang menganggapnya sebagai
gagasan hipotesis yang mau menjelaskan legitimitas negara. Hobbes termasuk
orang yang mempunyai pandangan hipotesis ini.
Sementara itu, Jean-Jacques Rosseau
bertolak dari adanya kehendak individual masing-masing orang (volonté
particulière). Dari sini, muncullah kehendak semua (volontè de tous). Kemudian,
muncullah kehendak umum (volonté générale), yaitu kehendak bersama semua
individu yang mengarah kepada kepentingan bersama, kepentingan umum. Kehendak
umum itu dapat disaring dari kehendak semua melalui pemungutan suara. Dalam
pemungutan suara kepentingan-kepentingan khusus –yang bertentangan satu sama
lain- saling meniadakan, sehingga akhirnya tinggal kepentingan umum yang
dikehendaki oleh semua.
Dengan demikian, Hobbes dan Locke
bertolak dari pengandaian yang sama, yakni mendirikan negara berarti melepaskan
beberapa hak kepada negara. Keduanya berbeda pendapat tentang banyaknya hak
yang harus dilepaskan oleh individu dan hak yang mana yang tetap dimilikinya
berhadapan dengan negara. Keduanya juga membatasi kekuasaan negara walaupun
pembatasan Hobbes tidak efektif. Sebaliknya, Locke mengembangkan konstitusi
negara untuk menjamin kekuasaan negara tidak melampaui batas yang wajar.
Sedangakan Rosseau bertolak dari identitas antara negara dan rakyat. Oleh
karena itu, individu melepaskan diri seluruhnya ke dalam negara. Tidak ada apa
pun yang tinggal di luar wewenang negara itu. Negara itu total karena identik
total dengan rakyat. Di lain pihak, individu tidak melepaskan hak apa pun,
karena dengan melepaskan diri ke dalam negara, individu tidak melepaskan diri.
Negara bukanlah lembaga yang berhadapan dengan individu-individu sehingga dapat
merampas hak-haknya dan perlu dibatasi wewenangnya.
Oleh karena itu, masalah penjaminan
hak-hak asasi dan pembatasan kekuasaan hilang bagi Rosseau. Sarana-saran yang
dalam pandangan Locke merupakan jaminan itu tidak mempunyai fungsi dalam negara
yang dibayangkan Rosseau. Dengan demikian, secara de facto Rosseau sama sekali
tidak membatasi kekuasaan negara. Hal ini berbeda dengan Locke yang sangat
tegas mengatakan bahwa kekuasaan harus dibatasi.
KESIMPULAN
John Lock (sebagai
bapak Hak asasi bukunya Two Traties Civil Governement) John Lock mengenal pula
“Homohominilopus”. Oleh karena didorong keinginan untuk merdeka, maka diadakan
suatu perjanjian “Faktum Subjektionis dan Factum Unionis”. Rakyat memberikan
kekuasaannya kepada pejabat akan tetapi tidak boleh melanggar hak asasi. Karena
manusia makhluk berakal dan mempunyai hak asasi yang terdiri dari:
1. hak asasi terhadap badan;
2. hak asasi terhadap nyawa;
3. hak asasi terhadap kehormatan;
4. hak asasi terhadap harta benda;
5. hak asasi terhadap kemerdekaan.
Terdiri dari :
a. fredum from fear,
b. fredum from want,
c. fredum from of state,
d. fredum from of relegion,
e. fredum from of mistake
(kesalahan,kekeliruan),
f. fredum from of tobe free.
John Locke (1632-1704) memperkenalkan teori
pemisahan kekuasaan. Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan
konfigurasi politik totaliter bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan
negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan
ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan
cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan
legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan
kekuasaan federatif (federative power).
pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hakhak
asasi warga negara akan lebih terjamin. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh
Montesquieu yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.
John Locke menganut teori Kontrak Sosial/Perjanjian Masyarakat [buku Two
Treatises of Government].
Secara singkat, teorinya begini:
1. Setiap individu memiliki hak-hak yang asasi: life, liberty, property yang
tidak boleh diganggu gugat.
2. Individu-individu ingin hidup tentram, maka mereka membentuk perjanjian
masyarakat. Namun terdapat keharusan rasional agar ketenteraman warga sipil
terjamin dan tujuan negara terwujud. Alhasil, masyarakat kemudian membuat
perjanjian/kontrak sosial sehingga bisa berbentuk comonnwealth [ingatlah selalu
kalau Locke menggunakan istilah "commonwealth", bukan
"state"].
3. Negara terbentuk, dengan dikepalai oleh seorang kepala negara yang harus
memperhatikan konstitusi/kontrak kesepakatan politik [tidak boleh sewenang-wenang].
4. Terwujudlah negara monarki konstitusional.
5. Kalau raja berubah menjadi lalim, rakyat boleh memberontak, bahkan membunuh
raja.
materi referensi:
Buku-buku:
1. Pudja Pramana KA, Ilmu Negara [2009].
2. R. Djokosutono, Kuliah Ilmu Negara [1982].
Teori Pemisahan Kekuasaan Negara
John Locke adalah orang pertama yang mengemukakan
teori pemisahan kekuasaan negara dalam bukunya “Two Treaties on Civil
Government” (1660). Ia membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang sebagai
berikut:
1. Legislatif:
kekuasaan untuk membuat undang-undang;
2.
Eksekutif: kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang;
3.
Federatif: kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala
tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri. (melakukan hubungan
diplomtik dengan negara-negara lain seperti:mengumunkan perang dan perdamaian,
dan menetapkan perjanjian-perjanjian).
Diilhami pemikiran John Locke, setengah abad
kemudian Montesquieu - seorang pengarang, filsuf asal Prancis menulis buku
“L’Esprit des Lois” (Jenewa, 1748). Di dalamnya ia menulis tentang sistem
pemisahan kekuasaan yang berlaku di Inggris:
1.
Legislatif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan perwakilan rakyat
(parlemen);
2.
Eksekutif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh pemerintah;
3.
Yudikatif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah
Agung dan pengadilan di bawahnya).
Isi ajaran Montesquieu berpangkal pada pemisahan
kekuasaan negara (separation of powers) yang terkenal dengan istilah “Trias
Politica”. Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu adalah
untuk membendung kesewenang-wenangan raja.
Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) harus
dipegang oleh badan yang berhak khusus untuk itu. Dalam negara demokratis,
kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang itu sepantasnya dipegang oleh
badan perwakilan rakyat. Sedangkan kekuasaan melaksanakan undang-undang harus
dipegang oleh badan lain, yaitu badan eksekutif. Dan kekuasaan yudikatif
(kekuasaan yustisi, kehakiman) adalah kekuasaan yang berkewajiban memertahankan
undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyat. Badan yudikatiflah
yang berkuasa memutuskan perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap
pelanggaran undang-undang yang telah diadakan oleh badan legislatif dan dilaksanakan
oleh badan eksekutif.
Walaupun para hakim pada umumnya diangkat oleh
kepala negara (eksekutif), mereka berkedudukan istimewa, tidak diperintah oleh
kepala negara yang mengangkatnya dan bahkan berhak menghukum kepala negara jika
melakukan pelanggaran hukum. Inilah perbedaan mendasar pandangan Montesquieu
dan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasasan
eksekutif. Montesquieu memandang badan peradilan sebagai kekuasaan independen.
Kekuasaan federatif menurut pembagian John Locke justru dimasukkan Montesquieu
sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif.
Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan?
Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah
pemisahan kekuasaan yang dipertahankan dengan jelas dalam tugas-tugas
kenegaraan di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemisahan
dalam arti formal adalah pembagian kekuasaan yang tidak dipertahankan secara
tegas. Prof.Dr. Ismail Suny, SH, MCL dalam bukunya “Pergeseran Kekuasaan
Eksekutif” berkesimpulan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material
sepantasnya disebut separation of powers (pemisahan kekuasaan), sedangkan
pemisahan kekuasaan dalam arti formal sebaiknya disebut division of powers
(pembagian kekuasaan). Suny juga berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan dalam
arti material hanya terdapat di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dan
negara-negara Eropa Barat umumnya berlaku pemisahan kekuasaan dalam arti
formal. Meskipun demikian, alat-alat perlengkapan negara tetap dapat dibedakan.
Apabila dalam sistem Republik rakyat di negara-negara Eropa Timur dan Tengah
sama sekali menolak prinsip pemisahan kekuasaan, maka UUD 1945 membagi perihal
kekuasaan negara itu dalam alat-alat perlengkapan negara yang memegang ketiga
kekuasaan itu tanpa menekankan pemisahannya