Diskursus
mengenai konsep negara Islam menimbulkan keragaman dalam menafsirkan sesuai dengan
pendapat dikalangan pemikir politik muslim modern tentang apa sesungguhnya yang
terkandung dalam prinsip-prinsip konsep negara Islam. Seperti disebagian negara
di dunia ini yang mengklaim dirinya sebagai negara Islam dengan mencirikan
negara islam itu identik dengan memberlakukan hukum Islam di negaranya.
Menurut teori-teori tata negara
Islam klasik, konsep negara merupakan inti filsafat politik Islam. Istilah
negara dalam literatur Islam yaitu Al-Qur’an, memang tidak ditemukan satu
ayatpun. Kata Daulah merupakan istilah lain dari negara. Banyak di
antara sarjana modern melukiskan Nabi Muhammad adalah “sebagai Nabi Penguasa
atas komunitas Islam”, walaupun dalam kenyataannya nabi tidak pernah mengklaim
dirinya sebagai penguasa. Seperti Hasan
Al-Mawardi yang cukup terkenal dalam sejarah Islam. Karyanya yang membicarakan
secara luas mengenai pemerintahan dijadikan rujukan dalam zaman modern ini. Al-Ahkam
Al-Sulthaniyyah (Hukum Pemerintahan) merupakan karangan ilmiah pertama
tentang ilmu politik dan admnistrasi negara dalam sejarah Islam.
Gagasan Islam seperti itulah yang
sering dikatakan sebagai awal munculnya Islam modern. Sampai-sampai ide gagasan
negara Islam muncul pada awal kemerdekaan negara Indonesia yang saat itu
dibahas pada masa konstituante. Salah seorang pahlawan nasional, Muhammad
Natsir sangat dikenal di Indonesia juga luar negeri sebagai seorang tokoh Islam
yang gigih untuk membela Islam sebagai Dasar Negara. Ide dan pemikirannya telah
membuat catatan sejarah baru bagi perkembangan umat Islam di Indonesia.
Begitu
pula yang terjadi di Timur Tengah, dengan lahirnya Era Islam yang juga
mengurusi tatanan bermasyarakat atau bernegara, Timur Tengah mengalami babak
baru. Tradisi kekuasaan politik pemerintahan monarki turun-temurun yang silih
berganti memerintah di kawasan tersebut dihapuskan, diganti dengan sistem
pemerintahan Teokrasi pada masa Muhammad dan Khulafa` al Rasyidin. Walaupun
pada masa Umayyah, pemerintahan Islam kembali ke bentuk monarki, akan tetapi
peran seorang khalifah sebagai pemimpin tetap merangkap sebagai seorang
pemimpin agama. Bentuk kekhalifahan monarki ini bertahan hingga dipisahkannya
secara jelas tentang urusan kekusaan dari agama pada akhir pemerintahan
kekhalifahan Usmani dan lahirlah negara bangsa Sekuler. Walaupun pada dasarnya
benih-benih pemisahannya telah ada sejak sistem pemerintahan teokrasi dirubah
menjadi monarki.
Pemerintah
Islam Muhammad yang diteruskan oleh generasi pemerintahan selanjutnya dibangun
atas semangat persatuan umat Islam (Pan Islamisme). Bukan berdasar atas
kesamaan bangsa, mengingat ekpansi Islam tidak hanya meluas ke wilayah-wilayah
bangsa Arab saja, namun hingga mencapai wilayah Parsi, Mongol, Turki, bahkan
Eropa yang notabene bukan Arab.
Di
setiap wilayah-wilayah yang telah dikuasai Islam, diangkat seorang sultan yang
berfungsi sebagai gubernur di zaman modern. Ia diberi kewenangan untuk
mengelola dan memerintah wilayahnya dibawah kontrol khilafah. Tujuannya ialah;
tugas pemerintah pusat lebih ringan. Wilayah-wilayah tersebut mendapat hak atas
keamanan dan kemakmuran, dan mempunyai kewajiban membayar pajak terhadap
pemerintah setempat yang kemudian diserahkan kepada khilafah sebagai upeti.
Pajak-pajak yang diterima, dikelola dalam satu badan Baitul Mall, disamping Ghanimah
(hasil rampasan perang). Hasil dari pengelolaannya dipergunakan untuk membiayai
aparat pemerintahan, militer dan membangun sarana umum untuk melayani rakyat.
Gagasan sistem demokrasi di Timur
Tengah menguat pasca terjadi gerakan rakyat untuk menjatuhkan pemerintahan
diktator di Mesir, Yaman dan lain-lain yang dilakukan oleh negara-negara Timur
Tengah dengan melibatkan rakyat dan aktivis gerakan yang menentang pemerintahan
sistem monarki maupun diktator pada sekitar tahun 2010 silam. Gerakan inilah
yang menginginkan adanya revolusi pada sistem pemerintahan untuk merubah dari
sistem pemerintahan monarki, federasi, konfederasi menjadi sistem demokrasi
yang mana sistem demokrasi melibatkan kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat,
bahkan sering disebut “suara rakyat adalah suara Tuhan”.
Awal
mula terjadinya isu demokrasi terhadap dunia Arab juga terjadi pada Tunisia
berhasil menciptakan konstitusi islam pertama di dunia pada tahun 1860 dan
dilaksanakannya pemilihan umum pertama di Mesir pada tahun 1868 di tambah
adanya proses liberalisasi politik yang tidak memberikan efek positif terhadap
negara-negara Arab dan memberikan ruang lebih bagi terciptanya sebuah sistem
pemerintahan yang demokratis. Bahkan, negara-negara Arab cenderung mengalami
proses yang berjalan kurang mulus karena selama berjalannya proses
demokratisasi tidak ada inisiatif dari aktor-aktor internal seperti penguasa
rezim dan dari masyarakat sendiri untuk melakukan konsolidasi demokrasi.
Konsolidasi demokrasi dipahami sebagai langkah untuk menstabilkan dan
memantapkan proses demokratisasi yang berlangsung di suatu negara.
Arab Spring “Musim Semi Arab” yang
telah melanda di negara Timur Tengah justru menimbulkan berbagai konflik antar
kelompok baik melalui sekte agama maupun antar suku, bahkan antar negara di
Timur Tengah. Sehingga dari konflik itulah sampai sekarang memunculkan banyak
kelompok radikal yang mengatasnamakan Agama. Dengan kenyataan inilah yang dapat
mengancam masa depan demokrasi di Timur Tengah.
Dengan adanya persoalan sekte dan
suku akan menjadi pengahalang besar bagi kelancaran proses demokratisasi. Maka yang
terjadi adalah model demokrasi konsosiasional dengan konsep power sharing,
bahwa pembagian kekuasaan didasarkan pada porsi kelompok etnis dan sekte
keagamaan yang ada di dalam masyarakat negara bersangkutan secara proporsional.
Biasanya demokrasi seperti ini melalui hasil pemufakatan antar elit yang
kemudian dilegalkan secara formal.
Praktek demokrasi konsosiasional
seperti yang diterapkan Libanon, yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga
golongan utama negeri itu, yaitu Sunni, Kristen Maronit, dan Syiah. Menurut
konstitusi Lebanon, perdana menteri dijabat oleh mereka yang berasal dari kaum
Sunni, sedangkan presiden dijabat dari kaum Kristen Maronit, dan ketua parlemen
dari kaum Syiah. Praktek ini masih berlaku hingga sekarang kendati saat ini
mengalami ujian yang begitu berat.
Selain praktek demokrasi di Libanon,
Iran juga demikian. Presiden jabatan simbolis dapat diserahkan kepada kelompok
Kurdi yang sebelum ini menjadi kelompok tertindas dan terpinggirkan. Sedangkan
jabatan perdana menteri, pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, biasanya
dimenangi oleh kelompok Syiah. Sedangkan wakil presiden kecenderungannya
diserahkan kepada kaum Sunni.
Demokrasi konsosiasional tentu
bukanlah demokrasi yang ideal, demokrasi biasanya memegang kekuasaan penuh
terhadap masyarakat. Bukanlah elit penguasa yang menjadi bagian pembagin
kekuasaan terhadap sekte agama maupun suku. Sistem politik itu cenderung tidak
menyatukan, tapi justru menegaskan keterpisahan. Ketegangan di level masyarakat
tentu juga berpengaruh pada kesatuan negara-bangsa tempat mereka hidup bersama.
Demokrasi
yang diterapkan di Timur Tengah bisa dikatakan tidak pernah berlangsung dalam
kondisi normal, melainkan selalu dibawah tekanan dan suasana konflik. Baik
konflik domestik atau akibat dari intervensi asing. Konflik internal biasanya
lebih bersifat tersembunyi, sedang intervensi asing lebih terbuka. Dengan gagalnya
Arab Spring yang ditunjukkan masyarakat menginginkan lepas dari rezim diktator
yang dzalim justru menimbulkan rezim baru seperti yang terjadi di Mesir. Kemudian
yang terjadi di Tunisia adanya rezim sekular, konflik berkepanjangan di Libya,
hingga adanya pembantaian rakyat yang terjadi di Suriah. Itu semua merupakan
perubahan sosial Arab Spring yang menimbulkan banyak kekecewaan.
Semua
itu menandakan bahwa tidaklah sistem demokrasi yang di elu-elukan negara Timur
tengah akan merubah menjadi baik. Justru yang terjadi banyak menimbulkan
persoalan, seperti yang terjadi di Mesir, pemilihan presiden yang berjalan
secara demokratis entah mengapa di kudeta oleh militer untuk mempertahankan
rezim lama. Hal ini menandakan bahwa demokrasi telah menjadi alat legitimasi
melalui cara-cara pemilu yang seolah demokratis. Lalu rezim lama akan berkuasa
kembali setelah dilaksanakannya pemilu secara demokratis dengan mengklaim
mendapatkan dukungan rakyat melalui pemilu.
Pemilu
secara demokratis sangatlah mudah untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak yang
memiliki kepentingan, dengan modal ikatan emosional dan popularitas akan mudah
mendapatkan suara dari rakyat melalui kampanye sesaat. Oleh karena itu, mungkin
akan sulit bagi beberapa negara yang memiliki nilai sosial dan kultural
tertentu untuk berusaha mengadaptasi nilai-nilai demokrasi dalam dinamika
perkembangan yang alamiah dan independen, karena terlalu banyaknya kepentingan
dan intervensi dari negara-negara barat terhadap nilai demokrasi itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar