Laman

Jumat, 08 Januari 2016

KONSEP PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA ISLAM DI TIMUR TENGAH PASCA ARAB SPRING



Diskursus mengenai konsep negara Islam menimbulkan keragaman dalam menafsirkan sesuai dengan pendapat dikalangan pemikir politik muslim modern tentang apa sesungguhnya yang terkandung dalam prinsip-prinsip konsep negara Islam. Seperti disebagian negara di dunia ini yang mengklaim dirinya sebagai negara Islam dengan mencirikan negara islam itu identik dengan memberlakukan hukum Islam di negaranya.
            Menurut teori-teori tata negara Islam klasik, konsep negara merupakan inti filsafat politik Islam. Istilah negara dalam literatur Islam yaitu Al-Qur’an, memang tidak ditemukan satu ayatpun. Kata Daulah merupakan istilah lain dari negara. Banyak di antara sarjana modern melukiskan Nabi Muhammad adalah “sebagai Nabi Penguasa atas komunitas Islam”, walaupun dalam kenyataannya nabi tidak pernah mengklaim dirinya sebagai penguasa.  Seperti Hasan Al-Mawardi yang cukup terkenal dalam sejarah Islam. Karyanya yang membicarakan secara luas mengenai pemerintahan dijadikan rujukan dalam zaman modern ini. Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah (Hukum Pemerintahan) merupakan karangan ilmiah pertama tentang ilmu politik dan admnistrasi negara dalam sejarah Islam.
            Gagasan Islam seperti itulah yang sering dikatakan sebagai awal munculnya Islam modern. Sampai-sampai ide gagasan negara Islam muncul pada awal kemerdekaan negara Indonesia yang saat itu dibahas pada masa konstituante. Salah seorang pahlawan nasional, Muhammad Natsir sangat dikenal di Indonesia juga luar negeri sebagai seorang tokoh Islam yang gigih untuk membela Islam sebagai Dasar Negara. Ide dan pemikirannya telah membuat catatan sejarah baru bagi perkembangan umat Islam di Indonesia.
Begitu pula yang terjadi di Timur Tengah, dengan lahirnya Era Islam yang juga mengurusi tatanan bermasyarakat atau bernegara, Timur Tengah mengalami babak baru. Tradisi kekuasaan politik pemerintahan monarki turun-temurun yang silih berganti memerintah di kawasan tersebut dihapuskan, diganti dengan sistem pemerintahan Teokrasi pada masa Muhammad dan Khulafa` al Rasyidin. Walaupun pada masa Umayyah, pemerintahan Islam kembali ke bentuk monarki, akan tetapi peran seorang khalifah sebagai pemimpin tetap merangkap sebagai seorang pemimpin agama. Bentuk kekhalifahan monarki ini bertahan hingga dipisahkannya secara jelas tentang urusan kekusaan dari agama pada akhir pemerintahan kekhalifahan Usmani dan lahirlah negara bangsa Sekuler. Walaupun pada dasarnya benih-benih pemisahannya telah ada sejak sistem pemerintahan teokrasi dirubah menjadi monarki.
Pemerintah Islam Muhammad yang diteruskan oleh generasi pemerintahan selanjutnya dibangun atas semangat persatuan umat Islam (Pan Islamisme). Bukan berdasar atas kesamaan bangsa, mengingat ekpansi Islam tidak hanya meluas ke wilayah-wilayah bangsa Arab saja, namun hingga mencapai wilayah Parsi, Mongol, Turki, bahkan Eropa yang notabene bukan Arab.
Di setiap wilayah-wilayah yang telah dikuasai Islam, diangkat seorang sultan yang berfungsi sebagai gubernur di zaman modern. Ia diberi kewenangan untuk mengelola dan memerintah wilayahnya dibawah kontrol khilafah. Tujuannya ialah; tugas pemerintah pusat lebih ringan. Wilayah-wilayah tersebut mendapat hak atas keamanan dan kemakmuran, dan mempunyai kewajiban membayar pajak terhadap pemerintah setempat yang kemudian diserahkan kepada khilafah sebagai upeti. Pajak-pajak yang diterima, dikelola dalam satu badan Baitul Mall, disamping Ghanimah (hasil rampasan perang). Hasil dari pengelolaannya dipergunakan untuk membiayai aparat pemerintahan, militer dan membangun sarana umum untuk melayani rakyat.
            Gagasan sistem demokrasi di Timur Tengah menguat pasca terjadi gerakan rakyat untuk menjatuhkan pemerintahan diktator di Mesir, Yaman dan lain-lain yang dilakukan oleh negara-negara Timur Tengah dengan melibatkan rakyat dan aktivis gerakan yang menentang pemerintahan sistem monarki maupun diktator pada sekitar tahun 2010 silam. Gerakan inilah yang menginginkan adanya revolusi pada sistem pemerintahan untuk merubah dari sistem pemerintahan monarki, federasi, konfederasi menjadi sistem demokrasi yang mana sistem demokrasi melibatkan kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, bahkan sering disebut “suara rakyat adalah suara Tuhan”.
Awal mula terjadinya isu demokrasi terhadap dunia Arab juga terjadi pada Tunisia berhasil menciptakan konstitusi islam pertama di dunia pada tahun 1860 dan dilaksanakannya pemilihan umum pertama di Mesir pada tahun 1868 di tambah adanya proses liberalisasi politik yang tidak memberikan efek positif terhadap negara-negara Arab dan memberikan ruang lebih bagi terciptanya sebuah sistem pemerintahan yang demokratis. Bahkan, negara-negara Arab cenderung mengalami proses yang berjalan kurang mulus karena selama berjalannya proses demokratisasi tidak ada inisiatif dari aktor-aktor internal seperti penguasa rezim dan dari masyarakat sendiri untuk melakukan konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi dipahami sebagai langkah untuk menstabilkan dan memantapkan proses demokratisasi yang berlangsung di suatu negara.
            Arab Spring “Musim Semi Arab” yang telah melanda di negara Timur Tengah justru menimbulkan berbagai konflik antar kelompok baik melalui sekte agama maupun antar suku, bahkan antar negara di Timur Tengah. Sehingga dari konflik itulah sampai sekarang memunculkan banyak kelompok radikal yang mengatasnamakan Agama. Dengan kenyataan inilah yang dapat mengancam masa depan demokrasi di Timur Tengah.
            Dengan adanya persoalan sekte dan suku akan menjadi pengahalang besar bagi kelancaran proses demokratisasi. Maka yang terjadi adalah model demokrasi konsosiasional dengan konsep power sharing, bahwa pembagian kekuasaan didasarkan pada porsi kelompok etnis dan sekte keagamaan yang ada di dalam masyarakat negara bersangkutan secara proporsional. Biasanya demokrasi seperti ini melalui hasil pemufakatan antar elit yang kemudian dilegalkan secara formal.
            Praktek demokrasi konsosiasional seperti yang diterapkan Libanon, yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga golongan utama negeri itu, yaitu Sunni, Kristen Maronit, dan Syiah. Menurut konstitusi Lebanon, perdana menteri dijabat oleh mereka yang berasal dari kaum Sunni, sedangkan presiden dijabat dari kaum Kristen Maronit, dan ketua parlemen dari kaum Syiah. Praktek ini masih berlaku hingga sekarang kendati saat ini mengalami ujian yang begitu berat.
            Selain praktek demokrasi di Libanon, Iran juga demikian. Presiden jabatan simbolis dapat diserahkan kepada kelompok Kurdi yang sebelum ini menjadi kelompok tertindas dan terpinggirkan. Sedangkan jabatan perdana menteri, pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, biasanya dimenangi oleh kelompok Syiah. Sedangkan wakil presiden kecenderungannya diserahkan kepada kaum Sunni.
            Demokrasi konsosiasional tentu bukanlah demokrasi yang ideal, demokrasi biasanya memegang kekuasaan penuh terhadap masyarakat. Bukanlah elit penguasa yang menjadi bagian pembagin kekuasaan terhadap sekte agama maupun suku. Sistem politik itu cenderung tidak menyatukan, tapi justru menegaskan keterpisahan. Ketegangan di level masyarakat tentu juga berpengaruh pada kesatuan negara-bangsa tempat mereka hidup bersama.
Demokrasi yang diterapkan di Timur Tengah bisa dikatakan tidak pernah berlangsung dalam kondisi normal, melainkan selalu dibawah tekanan dan suasana konflik. Baik konflik domestik atau akibat dari intervensi asing. Konflik internal biasanya lebih bersifat tersembunyi, sedang intervensi asing lebih terbuka. Dengan gagalnya Arab Spring yang ditunjukkan masyarakat menginginkan lepas dari rezim diktator yang dzalim justru menimbulkan rezim baru seperti yang terjadi di Mesir. Kemudian yang terjadi di Tunisia adanya rezim sekular, konflik berkepanjangan di Libya, hingga adanya pembantaian rakyat yang terjadi di Suriah. Itu semua merupakan perubahan sosial Arab Spring yang menimbulkan banyak kekecewaan.
Semua itu menandakan bahwa tidaklah sistem demokrasi yang di elu-elukan negara Timur tengah akan merubah menjadi baik. Justru yang terjadi banyak menimbulkan persoalan, seperti yang terjadi di Mesir, pemilihan presiden yang berjalan secara demokratis entah mengapa di kudeta oleh militer untuk mempertahankan rezim lama. Hal ini menandakan bahwa demokrasi telah menjadi alat legitimasi melalui cara-cara pemilu yang seolah demokratis. Lalu rezim lama akan berkuasa kembali setelah dilaksanakannya pemilu secara demokratis dengan mengklaim mendapatkan dukungan rakyat melalui pemilu.
Pemilu secara demokratis sangatlah mudah untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, dengan modal ikatan emosional dan popularitas akan mudah mendapatkan suara dari rakyat melalui kampanye sesaat. Oleh karena itu, mungkin akan sulit bagi beberapa negara yang memiliki nilai sosial dan kultural tertentu untuk berusaha mengadaptasi nilai-nilai demokrasi dalam dinamika perkembangan yang alamiah dan independen, karena terlalu banyaknya kepentingan dan intervensi dari negara-negara barat terhadap nilai demokrasi itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar