BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Amerika Serikat sebagai negara
adidaya selalu mempengaruhi gejolak politik yang terjadi di kancah
internasional, satunya seperti yang sedang terjadi di kawasan negara timur
tengah yang berlangsung sangat panjang. Konflik yang berlangsung disanalah
tidak lepas dari pengaruh campur tangan Amerika Serikat sebagai pembuktian
eksistensi sebagai negara adikuasa. Oleh karena itu Amerika Serikat selalu
melibatkan dirinya dalam mencampuri urusan politik internasional baik itu
sifatnya positif (menguntungkan) bagi negara-negara yang terlibat maupun
bersifat negatif (merugikan) yang mengedepankan kepentingan satu keberpihakan
negara bahkan sampai menimbulkan konflik antar negara.
Kebijakan politik secara global
yang dilakukan Amerika Serikat terhadap negara-negara timur tengah salah
satunya adalah setelah adanya kekosongan kekuasaan pasca runtuhnya Uni Soviet
dibeberapa wilayah yang sebelumnya merupakan sekutu Uni Soviet termasuk
negara-negara timur tengah yang memiliki kekayaan alam salah satunya ialah
minyak bumi seperti yang dimiliki oleh negara Irak.
Salah satu alternatif untuk
menguasai kekayaan alam tersebut, Amerika Serikat menggunakan strategi
peperangan terhadap Irak sehingga akan memberi peluang luas bagi berjalannya
agenda Israel dalam menghadapi konflik dengan Palestina. Hal ini sejalan dengan
kebijakan politik standar ganda Amerika Serikat yang selain melindungi
kepentingannya juga sangat mendukung Israel.
Selain itu, Amerika memiliki
strategi dalam menghambat perkembangan ideology Islam di negara Timur Tengah setelah
meletusnya aksi intifadhoh di Palestina. Amerika Serikat berupaya
melakukan demokratisasi di negara-negara Timur Tengah untuk meminimalisir sikap
kontra masyarakat di wilayah tersebut terhadap kebijakannya. Perang terhadap
Irak yang di tempuh Amerika Serikat sangat bernuansa ideologis dan jauh dari
perang yang benar. Amerika Serikat menggunakan isu-isu internasional untuk
mendukung dan melegitimasi aksinya. Dengan isu-isu terorisme, Amerika Serikat
mempunyai alasan yang tepat untuk melakukan intervensi seperti apa yang telah
dilakukannya terhadap Afganistan. Intervensi ini kemudian dilanjutkan ke Irak
sebagai sasaran selanjutnya. Irak merupakan sasaran selanjutnya karena Presiden
Irak Saddam Hussein dianggap sebagai presiden yang diktator.
Presiden Saddam Hussein
merupakan seorang diktator yang telah memerintah Irak dengan tangan besi. Tidak
sedikit warga Irak baik yang ada pada strata bawah, tengah maupun atas yang
telah menjadi korban otoritarianismenya. Dalam pandangan suku Kurdi dan
sebagian warga Syiah atau masyarakat Irak lainnya Saddam Hussein dianggap
sebagai penindas.
Hal itulah yang dianggap oleh
Amerika Serikat sebagai salah satu motivasinya menyerang Irak dan menggulingkan
rezim Saddam Hussein. Pemerintah Saddam juga dianggap sebagai pemerintah yang
tidak demokratis dan menghalangi proses demokrasi di Timur Tengah. Amerika
Serikat juga menggunakan isu-isu terorisme dan kepemilikan senjata pemusnah
massal untuk melegalkan aksinya menyerang Irak.
Kajian mengenai intervensi
politik luar negeri yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap Irak sangat
menarik untuk dikaji lebih mendalam. Permasalahan di atas akan dibahas dengan
menggunakan teori konflik yang telah dipelajari dalam mata kuliah teori
politik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Intervensi Amerika Serikat terhadap konflik di
Irak?
2. Bagaimana Dampak Intervensi yang dilakukan Amerika
Serikat terhadap Irak?
C. Landasan Teori
Teori
Konflik dapat didefinisikan sebagai suatu proses sosial dimana dua orang atau
kelompok berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkannya atau
membuatnya tak berdaya.
Menurut
Webster dalam Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin (2004:9), istilah conflict di
dalam bahasa aslinya berarti ”suatu titik perkelahian, peperangan atau
perjuangan” yaitu suatu konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Sementara Dean
G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin (2004:10) mengartikan konflik sebagai persepsi
mengenai perbedaan kepentingan atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak
yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.
K.J.
Holtsi (1988: 168) merumuskan definisi konflik secara singkat dan jelas yaitu
”ketidaksesuaian sasaran, nilai, kepentingan atau pandangan antara dua pihak
atau lebih. K.J. Verger (1990: 211) yang mengutip dari pendapat Lewis A. Coser
juga menerangkan tentang konflik, yaitu perselisihan mengenai nilai-nilai atau
tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan
yang persediaannya tidak mencukupi. Pihak-pihak yang berselisih tidak hanya
bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga memojokkan,
merugikan atau menghancurkan pihak lawan.
Dari
berbagai pendapat tentang konflik dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu
pertentangan, pertikaian, percekcokan, ketegangan dan perbedaan kepentingan
atau pendapat antara dua orang atau kelompok yang terjadi karena adanya
interaksi sosial sehingga mengakibatkan pihak yang satu berusaha untuk menyingkirkan
pihak yang lain untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya.
Berikut adalah skema dari Teori
Konflik yang didapat dari materi perkuliahan Marketing Politik :
Skema Teori Konflik
![]() |
|
|
|
Achmad Fedyani Saifudin
(1986) menyebutkan fungsi konflik sebagai berikut:
1)
Konflik berfungsi mencegah dan mempertahankan identitas dan batas batas kelompok
sosial dan masyarakat.
2)
Konflik dapat melenyapkan unsur-unsur yang memecah belah dan menegakkan kembali
persatuan. Konflik dapat meredakan ketegangan antara pihak-pihak yang
bertentangan sehingga dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa konflik
berfungsi sebagai stabilisator sistem sosial.
3) Konflik
suatu kelompok dengan kelompok lain menghasilkan mobilisasi energi para anggota
kelompok yang bersangkutan sehingga kohesi setiap kelompok ditingkatkan.
4)
Konflik dapat menciptakan jenis-jenis interaksi yang baru diantara pihak-pihak bertentangan
yang sebelumnya tidak ada. Konflik berlaku sebagai rangsangan untuk menciptakan
aturan-aturan dan sistem norma yang baru, yang mampu mengatur pihak-pihak yang
bertentangan sehingga keteraturan sosial kembali terwujud.
5)
Konflik dapat mempersatukan orang-orang atau kelompok-kelompok yang tadinya
tidak saling berhubungan. Koalisi dan organisasi dapat timbul dimana kepentingan
pragmatik utama dan pelakunya terlibat.
D. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk
mengetahui bagaimana intervensi yang
dilakukan Amerika Serikat terhadap konflik di Irak dan untuk menjelaskan dampak
setelah adanya intervensi Amerika Serikat terhadap konflik di Irak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hubungan Antara Amerika Serikat
dengan Irak Pra-Konflik
Setelah
berakhirnya perang dingin yang dapat meruntuhkan Uni Soviet dan menjadikan
Amerika Serikat sebagai negara terkuat di dunia atau dapat kita kenal sebagai
negara adikuasa/adidaya. Oleh karena itu Amerika Serikat mengincar kawasan
strategis yang dapat menguntungkan negaranya seperti yang terjadi di kawasan
Timur Tengah yaitu Irak dengan cara mengintervensi dalam Perang Teluk II pada tahun
1991 yang sebelumnya adalah perang antara Irak dengan Kwait. Sehingga dalam
perkembangannya menjadikan perang antara Irak dengan Amerika Serikat dan
sekutunya.
Selanjutnya
ini merupakan persoalan harga diri antara presiden Irak yakni Saddam Hussein dengan
presiden Amerika Serikat yaitu George Bush, sehingga Perang Teluk II tidak
dapat dihindarkan dihindarkan. Ini disebabkan Perang Teluk II secara tidak
langsung telah mengancam kepentingan Amerika Serikat mengingat ladang minyak di
Kuwait yang setiap hari mengalirkan dolar ke Amerika Serikat diserobot Irak.
Oleh karena itu Amerika Serikat merancang resolusi dan dengan segala kekuatan
berupaya meminta pengesahan Dewan Keamanan PBB untuk mengusir dan melumpuhkan
militer Irak. Alasan yang dikemukakan Amerika Serikat, Irak telah melanggar
hukum internasional dan hak rakyat Kuwait untuk bernegara harus dipulihkan.
Akhirnya DK PBB mengesahkan 12 resolusi mulai dari kecaman, pengerahan pasukan
multi nasional, blokade ekonomi sampai persetujuan penggunaan senjata militer.
Dasar
Amerika Serikat begitu bernafsu terlibat langsung dalam konflik Irak-Kuwait
berkaitan dengan kepentingan global Amerika Serikat untuk menguasai kawasan
Timur Tengah secara ekonomi, politik maupun strategis. Selain itu Amerika
Serikat berkepentingan untuk membatasi radikalisme Arab yang sering mengganggu
Barat. Amerika Serikat juga mempunyai komitmen untuk selalu melindungi
kepentingan Israel. Untuk mengamankan kekayaan Timur Tengah dan kepentingan
Amerika Serikat secara keseluruhan maka Amerika Serikat perlu menjalin hubungan
erat dengan negara di wilayah itu.
Serangan
bertubi-tubi Amerika Serikat terhadap Irak telah membuka kedok siapa sebenarnya
Amerika Serikat, terutama dalam konteks politik Timur Tengah. Semakin jelas
bahwa kepentingan politik luar negeri Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah
adalah Israel dan minyak. Faktor Israel berkaitan erat dengan kuatnya lobi
Yahudi dalam politik domestik Amerika Serikat. Oleh sebab itu apapun yang
diperbuat Israel tidak akan ditentang Amerika Serikat. Bahkan Amerika Serikat
akan menentang setiap usaha menghukum pelanggaran yang dilakukan Israel
terhadap norma-norma hubungan internasional. Faktor minyak memang sangat
penting bagi Amerika Serikat yang memiliki kebutuhan konsumsi minyak yang
sangat besar. Untuk itu Amerika Serikat selalu berusaha untuk menguasai
negara-negara yang kaya minyak termasuk Irak.
B. Intervensi Amerika Serikat
terhadap Konflik di Irak (Tahun 2003)
Rencana
Amerika Serikat untuk menyingkirkan Saddam Hussein yang dianggap sebagai
ancaman telah muncul jauh sebelum Perang Teluk III terjadi. Sejumlah dokumen
mengungkapkan bahwa niat untuk menyingkirkan Saddam Hussein sudah lama menjadi
cita-cita para pemimpin Amerika Serikat. Beberapa tahun sebelum George Walker
Bush menjadi Presiden Amerika Serikat dan beberapa tahun sebelum terjadi
tragedi 11 September 2001 terjadi, sekelompok neokonservatif yang berpengaruh
menyusun sebuah rencana untuk menyingkirkan rezim Saddam Hussein. Gagasan untuk
menyingkirkan Saddam paling tidak sudah mulai mengemuka tahun 1992 dan kemudian
dipertegas pada tahun 1997 dengan dibentuknya Project for the New American
Century (PNAC) oleh kelompok neokonservatif.
Sejak
awal PNAC selalu memprovokasi pemerintah Amerika Serikat untuk menyerang Irak
dan menyingkirkan Saddam Hussein. Setelah George W. Bush menjadi presiden,
peluang untuk melaksanakan tujuan PNAC semakin besar. Tragedi 11 September 2001
menjadi titik tolak dalam usaha menggulingkan rezim Saddam. Kelompok
neokonservatif yang berpengaruh dalam pemerintahan Bush berusaha mempengaruhi
Bush dalam menentukan kebijakan luar negeri Amerika Serikat pasca peristiwa 11
September 2001. Anggota kelompok neokonservatif yang sebagian juga merupakan
anggota PNAC itu disebut dengan kaum hawkish. Hawkishness atau hawkish adalah
sebuah istilah tidak resmi yang digunakan untuk menggambarkan para pemimpin
politik yang memiliki kecenderungan militeristik atau properang.
Selain
keterlibatan dengan teroris, Amerika Serikat juga mengeluarkan isu mengenai
kepemilikan senjata pemusnah massal Irak. Upaya Presiden Bush untuk menggiring
rakyatnya dan masyarakat dunia untuk mendukung niatnya menyerang Irak dilakukan
lewat pidato tahunannya yang dikenal dengan pidato ”state of the union”
dihadapan Kongres pada 29 Januari 2002. Dalam pidato itu Irak disebut-sebut
sebagai negara pemroduksi senjata pemusnah massal. Bersama Korea Utara dan
Iran, Irak dimasukkan ke dalam ”poros setan” (axis of evil). Menurut George W.
Bush ketiga negara tersebut adalah sponsor terorisme. Mereka digolongkan sebagai
rezim yang sangat berbahaya di dunia, yang mengancam Amerika Serikat dengan
senjata pemusnah dunia yang begitu hebat.
Meskipun
banyak mendapat tentangan dan protes dari dunia internasional, Amerika Serikat
tetap pada pendiriannya untuk menginvasi Irak. Alasan-alasan yang dikemukakan
oleh Amerika Serikat terhadap dunia internasional sangat lemah dan terkesan
mengada-ada. Sikap kerasnya di tengah protes internasional ataupun regional
dari negeri sendiri, justru mengindikasikan adanya tujuan tertentu dibalik
sikap keras itu.
Menurut
Chas Freeman menyatakan bahwa setidaknya ada enam hal yang menjadikan motif
George Bush untuk melakukan intervensi terhadap Irak, diantaranya :
a.
Penghancuran program senjata pemusnah massal
(Mass Weapon Destruction). Ini menjadi salah satu alasan yang paling sering
dikatakan Bush untuk melakukan invasi atau lebih tepatnya agresi militer ke
Irak. Program pengembangan senjata pemusnah massal Saddam Hussein dianggap
sebagai ancaman bagi Amerika Serikat dan dunia. Oleh karena itu, dalam rangka membongkar
program senjata pemusnah massal tersebut satu-satunya cara melalui serangan
militer karena Saddam dianggap tidak kooperatif dengan tim inspeksi PBB.
Pengembangan senjata pemusnah massal Irak dianggap sebagai ancaman bagi Amerika
Serikat dan karenanya harus dihancurkan berdasarkan interpretasi paradigma
pertahanan baru, yakni pre-emptive self defense.
b.
Perubahan rezim Saddam Hussein dalam pandangan
presiden Bush merupakan sosok pemimpin yang otoriter. Oleh karena itu, melalui
jalan oposisi maupun melalui intelijen yang telah dilakukan berulangkali gagal.
Maka salah satunya dilakukannya intervensi Amerika Serikat terhadap Irak.
c.
Operasi Amerika Serikat di Irak diberi nama
Operation Iraqi Freedom (Operasi Pembebasan Irak). Ini berarti bahwa invasi
Amerika Serikat tersebut ditujukan untuk membebaskan Irak dari rezim otoriter
Saddam Hussein. Dengan kata lain, invasi ini ditujukan untuk menciptakan
pemerintah yang demokratis pasca Saddam.
d.
Setelah mengalami embargo ekonomi sejak
kekalahannya dalam Perang Teluk II tahun 1991, kehidupan masyarakat Irak
semakin memprihatinkan. Oleh karena itu, dalam rangka memperbaiki kehidupan
rakyat Irak, Amerika Serikat telah menyediakan dana sebesar 8 miliar dolar
untuk pembangunan kembali Irak.
e.
Memusnahkan gerakan teorisme internasional yang
dapat mengancam sistem ketahanan dan keamanan negara.
f.
Transformasi wilayah Timur Tengah dibawah
pengawasan Amerika Serikat.
Alasan-alasan
yang dikemukakan Amerika Serikat untuk memuluskan rencananya menyerang Irak
tidak sepenuhnya benar. Terlepas dari kebohongan-kebohongan yang telah Amerika
Serikat dan Inggris pertontonkan terhadap dunia internasional, ada banyak
faktor yang menyebabkan para pengambil kebijakan di dalam pemerintahan Presiden
Bush memutuskan menyerbu Irak. Di antara faktor-faktor yang menjadi landasan
utama mengapa pemerintah Bush harus menggelar kekuatan militer ke Irak dan
menumbangkan rezim Saddam Hussein adalah sebagai berikut:
a.
Ambisi minyak dan menghancurkan OPEC
Agresi militer Amerika Serikat
ke Irak sangat erat kaitannya dengan kepentingan minyaknya. Irak adalah negara
yang memiliki cadangan minyak terbesar setelah Arab Saudi yakni sebesar 112
miliar barel. Namun setelah Perang Teluk II produksi minyak Irak menurun karena
adanya sanksi PBB. Dengan dicabutnya sanksi PBB atas Irak akan membuka peluang
besar bagi perusahaan-perusahaan minyak raksasa milik Amerika Serikat untuk mengeksploitasi
minyak Irak.
b.
Menguatkan pengaruh politik
Dengan berhasilnya menumbangkan
kekuasaan dari Saddam Hussein, maka akan memberikan jalan peluang Amerika
Serikat untuk memperkuat pengaruh politik khususnya di negara kawasan Timur
Tengah.
c.
Menjadikan Israel sebagai negara penguasa di
Timur Tengah
Kita tahu bahwa Israel termasuk
kedalam negara sekutu Amerika Serikat. Dengan berhasilnya Amerika Serikat
menjatuhkan kekuasaan Saddam Hussein maka akan semakin membuka peluang Israel
untuk menguasai kawasan Timur Tengah dan melakukan pembentukan ulang
kepentingan strateginya terhadap Palestina.
d.
Kepentingan Kekuasaan
Serbuan Amerika Serikat ke Irak
juga merupakan upaya Amerika Serikat untuk memperluas kekuasaannya. Setelah
Afganistan digempur karena tuduhan menyembunyikan dan melindungi Usamah bin
Ladin, keinginan Amerika Serikat untuk membentangkan kekuasaannya semakin
menjadi-jadi. Sebagai pemegang status adidaya tunggal yang kekuatan ekonomi dan
militernya tidak tertandingi, secara naluriah Amerika Serikat memang condong mendemonstrasikan
sepremasi dan superioritasnya. Para perancang perang dan perumus kebijakan
Amerika Serikat tampaknya beranggapan bahwa predikat ”The sole Super power”
yang disandangnya akan segera luntur apabila tidak pernah dibuktikan.
C.
Dampak Intervensi Amerika Serikat terhadap konflik Irak
Sejak
rezim Saddam Hussein jatuh, Irak benar-benar bebas karena tidak ada lagi hukum
yang mengikat, tidak ada lagi peradilan dan polisi yang baru dibentuk pun
benar-benar tidak berdaya. Kelompok-kelompok bersenjata muncul dimana-mana untuk
melawan tentara pendudukan. Kelompok-kelompok bersenjata ini yang kemudian
secara lantang menyatakan agar pasukan pendudukan segera angkat kaki dari Irak.
Pernyataan itu diwujudkan dengan berbagai aksi perlawanan terhadap pasukan
pendudukan. Setiap hari di bulan-bulan awal pendudukan selalu tersiar kabar ada
tentara Amerika Serikat atau Inggris yang tewas. Entah itu karena menjadi
korban para penembak jitu, korban peledak bom bunuh diri atau korban
penyerangan. Aksi penyerangan kelompok bersenjata Irak ini selalu dibalas oleh
pasukan pendudukan.
Tumbangnya
rezim Saddam Hussein akibat invasi militer yang dilakukan oleh pasukan gabungan
Amerika Serikat dan Inggris ke Irak juga mampu memberikan harapan baru bagi
bangkitnya kembali gerakan politik Syiah Irak yang telah sekian lama tertindas
dibawah pemerintah Saddam Hussein. Ada harapan yang besar dari sebagian
pemimpin kelompok Syiah bahwa mereka akan memperoleh peran yang lebih besar dan
signifikan dalam tatanan politik dan pemerintah Irak yang baru pasca rezim
Saddam Hussein. Harapan ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat realitas
demografis keagamaan Irak, dimana kelompok Syiah Irak merupakan warga
mayoritas. Apabila pemerintahan baru yang terbentuk kurang mengakomodasikan
kepentingan kelompok Syiah berarti sama dengan meletakkan bom waktu yang bisa
meledak kapan saja di masa mendatang.
Di
bidang ekonomi Irak mengalami kerugian besar karena hancurnya infrastruktur
yang hancur akibat perang. Kehancuran terjadi pada gedung-gedung pemerintah
rumah sakit, pemukiman penduduk, jalan-jalan, pusat perdagangan serta
tempat-tempat umum lainnya. Keuntungan dibidang ekonomi hanyalah dicabutnya
sanksi ekonomi berupa embargo yang telah dialami Irak sejak Perang Teluk II
usai.
Selain
kerugian ekonomi banyak sekali korban yang berjatuhan, baik sipil maupun
kalangan militer. Propaganda Amerika Serikat menyerang Irak dengan tujuan
membebaskan rakyat Irak sama sekali tidak terbukti. Justru yang kebanyakan
menjadi korban tindakan mereka adalah warga sipil Irak, pada hari ketujuh
peperangan sudah ada 350 orang yang meninggal dan tak kurang dari 4000 orang
mengalami luka-luka. Instabilitas keamanan di Irak juga terus berlangsung
karena terjadi banyak sekali penjarahan dan kerusuhan. Penjarahan dan
pengrusakan banyak terjadi di rumah sakit, universitas, museum, perusahaan
besar, hotel mewah atau rumah pejabat teras pemerintahan Irak.
Melihat
perkembangan Irak pasca Saddam, dapat disimpulkan bahwa tantangan yang dihadapi
Amerika Saddam dan sekutunya pasca perang sangat berat. Kenyataan di lapangan
memperlihatkan bahwa pasukan pendudukan tidak dapat sepenuhnya menciptakan stabilitas,
keamanan dan keamanan. Kelompok-kelompok oposisi termasuk kelompok-kelompok
yang sebelumnya telah menjalin hubungan erat dengan Amerika Serikat, tidak
menginginkan para pejabat Amerika Serikat memainkan peran yang lebih besar
dalam mengelola pemerintahan pasca perang. Kelompok ini kemudian menyatakan
bahwa orang-orang Irak kompeten dan mampu untuk membangun kembali Irak.
D.
Analisis Teori Konflik terhadap permasalahan tersebut
Konflik
yang terjadi antara Irak dan Amerika Serikat berakar pada kepentingan Amerika
Serikat yang ingin menyingkirkan rezim Saddam Hussein yang dinilai tidak patuh
dan untuk menguasai minyak di kawasan Timur Tengah. Konflik yang berakhir pada
terjadinya Perang Teluk III ini menimbulkan dampak multidimensi bagi Irak
khususnya dan bagi wilayah Timur Tengah pada umumnya. Baik langsung atau tidak
Perang Teluk III juga berpengaruh pada prospek perdamaian Palestina dan Israel.
Intervensi Amerika Serikat atas Irak ini memberi peluang pada Israel untuk
memperkuat eksistensinya di Palestina.
Di
dalam teori konflik, kita kenal yang pertama karena adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya konflik tersebut seperti adanya kekuatan (power),
kepentingan (interest), dan hak (right). Bila dilihat kasus tersebut bahwa
Amerika Serikat sebagai negara adikuasa yang setelah memenangkan perang dingin
sehingga hancurnya Uni Soviet menjadikan Amerika Serikat mempunyai kekuatan
dalam menghadapi persoalan-persoalan internasional sehingga dengan adanya
kekuatan tersebut tidak lepas dari adanya kepentingan-kepentingan yang bersifat
menguntungkan bagi negara yang memiliki kekuatan seperti Amerika Serikat dengan
mengintervensi konflik yang sedang berlangsung di Irak ketika itu. Intervensi
yang dilakukan Amerika Serikat tentu tidak lepas dari strategi yang dilakukan
guna mencapai tujuan yang diinginkan.
Melalui
konflik Perang Teluk III yang terjadi di Irak, Amerika Serikat ikut campur
melalui intervensi yang dilakukan agar mendapatkan kekuasaan politik khususnya
di kawasan Timur Tengah sebagaimana Israel merupakan sekutu Amerika Serikat
yang menempati kawasan Timur Tengah sehingga memiliki sisi strategis dalam
melakukan misinya tersebut, baik itu dari sisi ekonomi yang dikenal bahwa Irak
memiliki kilang minyak terbesar di dunia. Selain itu Amerika Serikat sebagai
negara adikuasa ingin negaranya memiliki kekuatan yang lebih dengan cara
pembuktiannya terhadap dunia setelah berhasil menjatuhkan rezim Saddam Hussein.
Selanjutnya
faktor-faktor konflik tidak lepas dari padangan Hak kemanusiaan, jika dilihat
dari terjadinya Perang Teluk III tersebut bahwa Amerika Serikat tidak
memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh penduduk di kawasan Irak. Sehingga
telah terjadinya kerugian ekonomi dan banyak sekali korban yang berjatuhan,
baik sipil maupun kalangan militer. Propaganda Amerika Serikat menyerang Irak
dengan tujuan membebaskan rakyat Irak sama sekali tidak terbukti. Justru yang kebanyakan
menjadi korban tindakan mereka adalah warga sipil Irak.
E. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka
dapat disimpulkan bahwa Intervensi yang
dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap Irak sehingga dapat memunculkan konflik
Perang Teluk III yang disebabkan oleh adanya naluri agresi yaitu sifat haus
darah yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Mesin politik luar negeri Amerika
Serikat sering kali diarahkan pada negara yang dikehendakinya untuk memenuhi
sifat haus perangnya. Perang Teluk III juga terjadi karena rangsangan ekonomi
yaitu kepentingan Amerika Serikat atas ladang minyak Irak dan rangsangan ilmiah
sebagai ajang pamer teknologi persenjataan. Dalam Perang Teluk III juga tampak
bahwa Amerika Serikat melancarkan perang sebagai cara untuk menyelesaikan
konflik dengan Irak.
Alasan Amerika Serikat
melakukan intervensi ke Irak adalah karena Irak masih dipimpin oleh Saddam
Hussein yang dianggapnya tidak demokratis dan menghambat proses demokratisasi
di Timur Tengah. Saddam Hussein yang ingin menjadi “singa” di kawasan Timur
Tengah juga dianggap membahayakan kepentingan Amerika Serikat dan eksistensi
Israel. Meskipun alasan menyerang Irak terkesan sangat dipaksakan oleh Amerika
Serikat tapi Amerika Serikat tetap mengklaim bahwa serangannya terhadap Irak
ini sebagai Just War karena Irak telah melanggar Resolusi PBB. Amerika Serikat
juga memastikan bahwa dalam perang ini ia akan menang dan akan merubah negara
Irak menjadi demokratis dengan pemimpin yang baru.
Intervensi Amerika serikat
terhadap Irak ini menimbulkan konflik yang berkepanjangan karena kedua pihak
tetap berpegang pada pendirian masing-masing. Konflik Amerika Serikat-Irak ini
akhirnya berkembang menjadi perang yang selanjutnya dikenal dengan Perang Teluk
III.
Perang Teluk III ini
menimbulkan polemik bagi seluruh masyarakat dunia karena sesungguhnya invasi
ini merupakan pelanggaran terhadap doktrin Just War. Perang ini bukan
merupakan perang yang adil karena alasan penyerangan terlalu dibuat-buat oleh
Amerika Serikat. Intervensi yang menimbulkan konflik dan berakibat pada
peperangan ini juga akan berpengaruh terhadap perkembangan politik di Irak,
mengingat akibat Perang Teluk III Irak jatuh dalam kekuasaan Amerika Serikat
sehingga mengakibatkan instabilitas politik di Irak.
Akibat dari adanya Intervensi
Amerika Serikat terhadap Irak tersebut yang mampu menjatuhkan rezim Saddam
Hussein maka dunia semakin mengakui Amerika Serikat sebagai negara yang terkuat
di dunia sehingga akan membuat Amerika Serikat lebih memudahkan dalam mengurusi
segala hal yang berkaitan dengan geopolitik dan politik Internasional terhadap
negara-negara lain.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar