Laman

Senin, 11 Januari 2016

POLITIK LINGKUNGAN (ENVIRONMENTAL POLITICS)



Pengantar
Sejak didiskusikannya persoalan-persoalan lingkungan sejak tahun 1970-an dengan skenario limits to grow, pembangunan berkelanjutan, konperensi Rio de Janeiro, WSSD dan sebagainya sampai sekarang sangat nyata bahwa lingkungan dan sumberdaya semakin rusak dan pembangunan semakin tidak berkelanjutan. Teori, kebijakan lingkungan dan sumberdaya alam dan rancangan program dan proyek kebanyakan tidak berhasil menangani persoalan lingkungan. Ada kekuatan ekonomi dan pasar yang sangat besar yang bisa dianalisis dari sudut ekonomi politik. Ada perdebatan apakah akar persoalan lingkungan ada dalam domain ekonomi atau politik? Ada korelasi negatif antara perkembangan ilmu pengetahuan, konsep,strategi lingkungan dan teknologi lingkungan dengan kerusakan lingkungan. Sebagian pakar menyatakan bahwa persoalan lingkungan lebih berakar di bidang politik daripada ekonomi.
Hampir semua orang dewasa berpendidikan pasti pernah mendengar tentang politik walaupun tidak semua memahami politik dengan sesungguhnya dan apa itu ilmu politik. Ilmuwan atau ahli politik memahami teori politik tetapi belum tentu menjadi pelaku atau praktisi politik yang handal. Politik selalu menarik dan menimbulkan banyak tafsiran. Politik juga berkembang dalam berbagai aspek. Kita mendengar istilah teori politik, filosofi politik, politik praktis, etika politik, elit politik, kelompok politik, politik lokal, intrik politik, praktisi politik, pelaku politik, perilaku politik, permainan politik, perjuangan politik, institusi politik, komunikasi politik, partisipasi politik, hak-hak politik, geografi politik (geopolitik), pernyataan politik, perilaku politik, politik uang (money politics) konflik politik, partai politik, politik pembuatan kebijakan, politik penguasaan sumberdaya alam, pendidikan politik, sistem politik, proses politik dan lobby politik dan sebagainya.
Di dalam bidang ilmu pengetahuan berkembang berbagai cabang ilmu yang berkaitan atau memiliki kata politik seperti ekonomi politik (political economy), ekologi politik (political ecology atau politics of ecology), politik pertanian (agricultural politics), politik kehutanan (forest politics), sosiologi politik (political sociology) dan sebagainya.
Salah satu bidang ilmu yang telah berkembang adalah politik lingkungan environmental politics). Politik lingkungan lebih banyak didiskusikan dalam ilmu pengetahuan baik untuk analisis, diskusi maupun penelitian serta pengambangan kurikulum. Politik lingkungan biasanya overlapping dengan bidang ilmu lain yang memperhatikan keterkaitan antara sumberdaya alam, lingkungan, tata kelola dan politik. Politik lingkungan (environmental politics) sering tumpang tindih (overlapping) dengan ekologi politik (political ecology).
Aplikasi politik lingkungan untuk proses pembuatan kebijakan dan implementasi proyek penanganan lingkungan juga masih sangat terbatas Tulisan ini memusatkan perhatian pada konsep dan dikusi atau pandangan tentang politik lingkungan. Ada beberapa bidang kajian baru yang bercabang dari politik lingkungan seperti politik lingkungan lokal, politik lingkungan global dan sebagainya. Namun ada beberapa pertanyaan penting. Apa batasan dan ruang lingkup ilmu ini? Apa definisinya yang dapat diterima masyarakat luas? Apa pertanyaan penelitian utama (research questions) yang bisa dikaji dengan ilmu ini? Di mana sebenarnya ilmu ini berpijak? Di dalam ilmu politik, ilmu lingkungan atau ilmu kebijakan? Bagaimana aplikasi ilmu ini? Tidak semua pertanyaan ini akan dijawab dalam tulisan ini. Kebanyakan ahli berpendapat bahwa politik lingkungan sebagian besar berada dalam domain ilmu politik yang mengkaji peranan negara, institusi, ekonomi politik, kekuasaan, norma dan ideologi, juga berkaitan dengan hubungan internasional. Namun jika dikaitkan dengan lingkungan persoalan-persoalan riset yang paling inovatif justru berada di luar bidang ilmu politik seperti kajian lingkungan, perubahan iklim global, ekonomi, sosiologi, studi pembangunan, biologi, ekologi manusia dan sebagainya (Daugverne, 2005).
Pengertian Politik
Secara umum definisi politik adalah praktek seni atau ilmu tentang  mengatur dan menjalankan administrasi negara atau unit-unit politik lain. Di dalam definisi tradisional politik adalah seni dan ilmu pemerintahan. Namun definsi ini dikritik karena tidak jelas batasan pemerintahan. Pemerintah berbeda dari negara. Orang-orang yang berpolitik tidak selamanya orang atau lembaga pemerintah.
Kini pemerintah (government) dibedakan dari tata kelola (governance)  yang tidka hanya melibatkan institusi pemerintah. Di dalam bahasa awam politik juga sering disamakan dengan taktik, strategi dan kadang diterjemahkan orang awam sebagai tipu daya. Jika ada yang kalah dalam suatu pertandingan karena lawannya bermain curang dikatakan bahwa lawan bermain politik atau berpolitik dalam permainan. Politik biasa juga diterjemahkan secara informal dan sarkastis sebagai kecurangan dalam kerjasama atau kompetisi.
Kenyataan menunjukkan bahwa politik ada di dalam setiap sendi kehidupan, pada berbagai organisasi, tataran, jaringan dan bahkan di dalam kehidupan perorangan maupun keluarga. Namun ada juga petanyaan yang pernah muncul di masa lalu apakah makluk lain selain manusia juga berpolitik? Orang bertanya bagaimana lebah bisa bekerjasama, mengatur pembagian tugas dan jika mereka terbang bisa bergerombol dan ada yang memiliki tugas pengamanan, pemandu dan ada ratu atau raja yang dilindungi? Bagamana mereka bisa berkomunikasi?
Demikian juga dengan semut atau binatang lain yang bisa mengorganisasi diri dalam kelompok. Aliran politik moderen menegaskan bahwa politik hanya berlaku untuk manusia yang dapat berkomunikasi secara simbolis yang bisa membuat pernyataan, menyampaikan prinsip-prinsip, beradu-argumen, berbeda pendapat dan sebagainya. Ilmu politik sendiri didefinisikan secara sederhana sebagai studi tentang negara, pemerintah dan politik. Para pemikir politik biasa juga atau kadang melakukan analisis tentang konsep negara, hukum, kedaulatan, hak-hak , keadilan atau ketidak-adilan dan sebagainya (Varma, 1999). Charles Hyneman (1959) menyampaikan ruang lingkup ilmu politik yang mencakup struktur organisasi, proses pembuatan kebijakan, tindakan dan keputusan, pengawasan, serta lingkungan manusia dari suatu pemerintahan yang syah.
Secara umum dapat kita katakan bahwa politik adalah seni dan praktek  pengelolaan sistem pemerintahan, yang menyangkut institusi, kekuasaan, kewenangan, kebijakan, administrasi negara dan upaya untuk kepentingan masyarakat banyak atau untuk kepentingan kelompok politik tertentu (Varma, 1999).
Pada saat ini politik sangat luas dimensinya tergantung siapa yang  berbicara dan untuk kepentingan apa? Seorang anggota DPR Pusat bisa mempunyai visi politik yang berbeda dari pandangan ahli institusi dan politik sumberdaya alam. Ahli politik dan sosiologi sumberdaya alam yang memperhatikan hak dan kedudukan masyarakat lokal (untuk pembangunan atau pemberdayaan masyarakat) akan berbeda fokus perhatian dibandingkan dengan pakar sumberdaya alam dan lingkungan yang berorientasi pada pasar dan swasta (untuk tujuan ekplorasi dan ekploitasi). Pandangan politik juga akan berbeda menurut ahli lingkungan yang menekankan pada kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.
Politik juga berkembang dengan berkembangnya insitusi formal maupun informal, proses demokratisasi, desentralisasi, keterbukaan, pasar bebas, privatisasi dan globalisasi. Berkembangnya masyarakat madani, LSM, Pers dan lembaga-lembaga agama turut mewarnai perkembangan politik. Politik tidak selamanya negatif dan karena itu diperlukan pendidikan politik untuk memahami perilaku politik pemerintah, partai, swasta, ormas dan sebagainya dalam memperjuangkan kepentingan orang banyak atau kepentingan kelompok. Negatif atau positifnya politik dapat dilihat dari perilaku institusi dan perorangan dalam berpolitik. Juga dapat dilihat sejauh-mana kebijakan dan keputusan politik menghasilkan dampak positif atau negatif pada publik, pasar dan lingkungan sosial ekonomi dan fisik yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Politik Lingkungan (Environmental Politics)
Salah satu bidang, yang semakin menarik perhatian adalah politik lingkungan (environmental politics). Politik lingkungan mulai berkembang pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an (Daugverne, 2005). Apa kaitan antara politik dan lingkungan dan apa itu politik lingkungan? Apa konsep dan praktek  politik lingkungan? Politik lingkungan kadang dicampur-adukan atau berkaitan dengan dan mencakup politik ekologi (ecological politics atau politics of ecology) dan ekonomi politik penguasaan sumber daya alam yang mempunyai implikasi dan dampak pada lingkungan.
Politik lingkungan biasanya berkaitan dengan politik penguasaan dan  pemilikan sumberdaya alam dan perdagangan produknya. Politik di sini berkaitan dengan kekuatan dan kekuasan pasar. Selain itu juga strategi dan kebijakan pemerintah mengalokasikan sumberdaya alam bagi masyarakat ataukah berpihak pada swasta dan pasar yang berkaitan dengan kekuatan politik atau untuk kepentingan politik?
Politik lingkungan juga berkaitan dengan peranan politik para pihak dalam memperjuangkan keadilan dan kelestarian lingkungan. Salah satu ekspresi politik adalah dalam bentuk partai politik atau institusi yang bisa mempengaruhi keputusan politik pemerintah. Di dalam bahasa internasional biasa disebut dengan partai hijau (green party) . Misalnya pembentukan partai hijau di Jerman, New Zealand, Swiss dan Inggeris pada awal tahun 1970-an atau di Denmark awal tahun 1980-an yang memperjuangkan persoalan lingkungan, pembangunan berpusat pada orang miskin dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan pembangunan di tingkat akar rumput. Walaupun partai-partai ini tidak banyak berhasil di parlemen atau pemimpin negara banyak upaya yang dilakukan.
Berkembang pemikiran tentang politik hijau atau greening of politics/green politis, green governance dan sebagainya (Park, 1997) Politik lingkungan juga menganalisis peran institusi atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan sumberdaya alam dan lingkungan. Disini peran masyarakat, pemerintah, swasta, organisasi bukan pemerintah, lembaga pembangunan, pendidikan dan penelitian juga dianalisis.
Politik lingkungan menganalisis persoalan kerusakan lingkungan yang  disebabkan oleh pasar namun tidak dapat dikontrol oleh pasar. Pasar dan swasta biasanya memiliki kekuasaan dan kontrol walaupun tidak memiliki kewenangan atas sumberdaya alam. Akibat dari perilaku dan tindakan pasar terjadi eksternalitas yang kemudian membutuhkan intervensi pemerintah atau bentuk tata kelola (governane) lain untuk menanganinya.
Di sini peranan pemerintah dalam menanggapi keperihatinan publik dan institusi lain dari masyarakat madani atas persoalan lingkungan dapat ditindak-lanjuti dengan membuat dan menegakkan peraturan untuk pengendalian dampak lingkungan maupun mengendalikan atau menindak perusahaan yang menghasilkan dampak negatif pada lingkungan. Tindakan ini dapat diklasifikasi sebagai tindakan disinsentif karena memberikan hukuman kepada mereka yang melanggar aturan namun bisa berdampak positif bagi lingkungan. Pemerintah dapat menindak sebagai salah satu bentuk tindakan hukum namun juga dapat memberikan insentif untuk mendorong masyarakat atau swasta untuk lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Masyarakat madani (civil society) seperti organisasi bukan pemerintah, media, pegiat lingkungan dan lain-lain yang melakukan kampanye dan advokasi mempunyai pengaruh besar dan meminkan peran yang kuat dalam tata kelola politik dan ekonomi sumberdaya alam. Jadi ada peran politik dalam tata kelola sumberdaya alam dan lingkungan karena kegiatan mereka bisa mempengaruhi pembuatan kebijakan dan keputusan pemerintah untuk kepentingan lingkungan.
Pada tataran internasional ahli politik lingkungan dan sumberdaya alam  serta ekologi memperhatikan persoalan-persoalan penguasaan sumberdaya alam dikaitkan dengan politik negara, konflik dan perang karena sumberdaya alam alam, persolan lintas batas seperti polusi, sumber air maupun pencurian sumberdaya alam seperti ikan, kayu dan pasir. Misalnya ekstraksi sumberdaya alam menimbulkan konflik dan kerusakan lingkungan. Perang Irak dan invasi Amerika ke Irak dianggap sebagai salah satu politik lingkungan dan sumberdaya alam karena perang yang menghabiskan milyaran dollar AS dicurigai mengejar nilai minyak di sana dan negara-negara sekitarnya yang dihasilkan juga milyaran dolar. Atau mungkin ada nilai lain yang lebih besar di balik perang itu?
Banyak lembaga penelitian atau pembangunan internasional juga berperan  dalam politik sumberdaya alam dan lingkungan. Selain itu program pembangunan atau bantuan asing yang melibatkan lembaga pendidikan dan penelitian ilmiah internasional sering dituding sebagai alat politik pemerintah dalam survai, ekplorasi dan pemetaan sumber-sumber alam di negara sedang berkembang.
Pada tataran internasional peranan negara, donor dan lembaga pembangunan serta organisasi bukan pemerintah dan lembaga pendidikan dan penelitian sangat vital dalam proses politik dan pengembangan aturan dan kebijakan di tataran internasional. Mereka bisa menghasilkan tekanan eksternal dan pengaruh untuk membuat konvensi, aturan dan institusi lain di tataran internasional yang harus diikuti oleh negara-negara yang terlibat dalam pengelolaan lingkungan. Namun dalam konteks ini sering ada analisis tentang pengaruh swasta yang kuat dengan lobi politik yang cukup efektif menghasilkan pengaruh yang besar dalam politik pembuatan kebijakan di tingkat internasional sehingga kepentingan mereka tidak terusik karena pengendalian lingkungan yang besar. Namun ada juga kekuasaan yang besar dari sebuah negara baik seara langsung oleh pemerintah atau lobi swasta sehingga sebuah negara tidak mau menandatangani sebuah konvensi lingkungan karena akan berpengaruh negatif pada pertumbuhan industri dan ekonomi negaranya.
Politik lingkungan dikaji dan dikembangkan oleh lembaga-lembaga pendidikan dan penelitan berdasarkan pandangan dan kepentingan maupun keprihatinan mereka atas persoalan lingkungan. Misalnya Universitas Berkeley di AS mengembangkan proyek penelitian dan pengembangan bidang kajian ini untuk
mengkaitkan lingkungan, budaya dan ekonomi politik. Para pakar dan mahasiswa bertukar pikiran tentang perhatian yang sama akan masalah-masalah yang saling berkaitan dengan lingkungan, ilmu sosial, kemanusiaan dan hukum. Fokus mereka adalah pada kekuasaan, pengetahuan dan perjuangan untuk mendapatkan akses dan kontrol atas sumberdaya, pengaturan kelembagaan dan ekonomi yang mencakup politik budaya dan ekonomi politik tentang perjuangan yang berkaitan dengan  lingkungan. Perhatian utama lembaga ini adalah dalam penggunaan alat analisis ilmu sosial untuk berbicara tentang interaksi yang kompleks antara actor lingkungan, badan-badan dan institusi arena politik dan tata kelola lingkungan yang semakin mengemuka di tataran lintas negara (transnasional).
Persoalan lingkungan sekarang adalah persoalan lintas negara dan penanganannya memerlukan kerjasama lintas negara. Persoalan lingkungan disampaikan dalam berbagai bahasa dari sudut moral, teknokrat, majerial (Berkeley Workshop on Environmental Politics, 1999).
Kelompok Peneliti Global Environmental Politics (EGP) dari MIT (Masachuset Institue of Technology) membicarakan persoalan politik lingkungan global yang melihat hubungan antara kekuatan politik global dan perubahan lingkungan termasuk peranan negara, institusi dan perjanjian multilateral, perdagangan, keuangan internasional, perusahaan/korporasi, ketidak-adilan, organisasi bukan pemerintah, ilmu pengetahuan, teknologi dan pergerkan di tingkat akar rumput. Lembaga ini memusatkan perhatian pada implikasi dari interaksi lokal –global untuk pengelolaan lingkungan dan juga implikasi perubahan lingkungan terhadap politik dunia. Lembaga ini mengembangkan bidang baru dalam ilmu politik, hubungan internasional, sosiologi, sejarah, geogafi manusia, kebijakan publik, ilmu dan teknologi, etika lingkungan, hukum, ekonomi dan ilmu lingkungan (GEP-MIT, 2003).
Dari berbagai bacaan dan diskusi di atas tampaknya politik lingkungan  sangat kompleks. Ide dan analisis bisa berada dalam dimensi atau ruang lingkup ilmu lain seperti ekologi politik, keadilan lingkungan, persoalan-persoalan rasial yang berkaitan dengan lingkungan, ekonomi politik penguasaan sumberdaya alam dan perusakan lingkungan, perang, militer dan kerusakan lingkungan, nuklir dan dampak negatif pada lingkungan, bioteknologi, transgenik dan lingkungan, tata kelola lingkungan, pengelolan sumberdaya alam berbasis masyarakat, resolusi konflik lingkungan, kemiskinan masyarakat, tataguna lahan, desentralisasi, kekuasaan dan kewenangan, hukum lingkungan, tata kelola dan alat kontrol kekuasaan atas lingkungan, politik dan kebijikan serta pengambilan keputusan tentang lingkungan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana perspektif politik di letakkan dalam bidang atau aspek-aspek ini. Sulit mendapatkan definisi politik lingkungan yang pasti, praktis dan ruang lingkupnya terfokus pada dimensi tertentu yang terbatas dari lingkungan dan politik.
Politik Lingkungan di Indonesia
Kasus pencemaran lingkungan seperti kasus New Mont Minahasa Raya di  Sulawesi Utara atau persoalan Freeport di Papua merupakan kasus yang menarik untuk dikaji dari sudut politik lingkungan (menurut ruang lingkup dan definisi di atas). Di sini ada uraian historis tentang proses penguasan sumberdaya alam, ada keterlibatan perusahaan asing, pejabat pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi lokal. Ada peranan media dan Ornop serta kelompok lokal dalam kampanye dan advokasi. Ada konflik politik dan perlawanan. Ada campur tangan hukum namun ada permainan (politik) yang membebaskan perusahaan dari penjara, dari tanggung jawab oleh pihak yang bisa membayar pihak penguasa.
Ada interaksi antara kekuasaan dan kewenangan, uang dan politik. Persoalan serius yang dihadapi akhir-akhir ini adalah adanya perlawanan masyarakat lokal terhadap perusahaan pertambangan emas AS Freeport di Papua. Ada persoalan ekonomi dan politik, ada diplomasi dan hubungan internasional di dalamnya yang menghasilkan dampak negatif pada masyarakat lokal. Ada kolusi dan kerjasama kolektif yang lebih menguntungkan kelompok tertentu, dan dampak negatif pada lingkungan sudah sangat dahsyat. Persoalan pembalakan liar yang melibatkan institusi lintas negara telah merugikan negara baik secara finansial dan lingkungan merupakan persoalan yang pantas juga dikaji dari sudut politik lingkungan. Persoalan yang sama dapat juga dilihat dalam kasus pencurian ikan, penjualan pasir dan penambang liar yang merupakan persoalan-persoalan politik lingkungan juga.
Pembalakan liar (illegal logging) merupakan salah satu kasus politik lingkungan yang paling lengkap dan kompleks. Ekstraksi sumberdaya hutan ini melibatkan berbagai institusi dan perorangan dengan perilaku oportunistik yang luar biasa. Bahkan yang paling menarik adalah bahwa kegiatan pembalakan liar ini juga melibatkan pembuatan kebijakan dan keputusan politik di tingkat pemerintahan daerah yang dilakukan untuk menambah anggaran pendapatan daerah serta keuntungan pribadi perorangan dalam sistem pemerintahan daerah maupun institusi informal.
Politik lingkungan cukup lengkap kasusnya di Indonesia di hampir semua  sumber daya alam dan politik yang terlibat di dalamnya. Politik lingkungan dapat dianalisis dalam penguasaan dan privatisasi sumber air, ekploitasi sumberdaya hutan, perikanan, tambang, pasir, lahan pertanian dan sebagainya.
Beberapa Kesimpulan, Persoalan Kunci dan Perdebatan Kedudukan dan domain politik lingkungan selalu menjadi perdebatan para  ahli. Persoalan lingkungan dianggap sebagai persoalan ekonomi politik,  pemerintah, kelembagaan, tata kelola, kewenangan, kekuasaan, norma, ideologi, kebijakan dan pasar maupun persoalan sosial budaya tergantung bagaimana kita melihatnya. Definisi ruang lingkup dan batasan politik lingkungan sering dianggap tidak jelas. Dia bisa berada di mana saja. Namun umumnya politik lingkungan dianggap merupakan domain bidang politik.
Di dalam banyak buku ekonomi, persoalan lingkungan dianggap sebagai  akibat dari tingkah laku ekonomi dan pasar. Perilaku ekonomi perorangan atau institusi (organisasi) dianggap menentukan jenis penguasaan atas sumberdaya alam dengan ekternalitas pada lingkungan. Menurut Congleton (2002) biasanya analisis persoalan pencemaran misalnya dianggap sebagai persoalan transaksi ekonomi. Ada pihak yang menghasilkan polusi karena memproduksi suatu barang dan orang disekitar pabrik atau di daerah hilir dari pabrik jika berada di dalam suatu daerah aliran sungai atau sistem sungai akan menderita namun mereka tetap membeli produk tersebut karena harganya murah. Tidak adanya tindakan pencegahan pencemaran membuat konsumer mendapat untung dari harga produk yang mudah. Namun jika pihak yang dicemari menuntut perusahaan untuk menerapkan tindakan  pencegahan agar tidak mencemari lingkungan, maka perusahaan harus menambah biaya instalasi alat dan biaya produksi namun pihak yang dicemari harus membayar harga produk menjadi lebih mahal. Pihak yang dirugikan dapat dianggap perlu membayar perushaan untuk melakukan tindakan pencegahan.
Ketika harga murah dari sudut ekonomi (Welfare Eonomics) produk barang yang dihasilkan dianggap diproduksi berlebihan (overproduced) dan udara serta air yang digunakan dianggap digunakan secara berlebihan (overtulized). Padahal persoalan yang dihadapi memerlukan penanganan dari sudut  kelembagaan yang membutuhkan pengambilan keputusan dan tindakan kolektif. Tindakan kolektif juga bisa bermasalah jika menyangkut barang publik (public goods) dan pasti ada persoalan politik karena ada pihak yang tidak mau atau  ingin mencari keuntungan. Pihak yang dirugikan dapat melobi pemerintah untuk membuat peraturan yang ketat kepada perusahaan untuk menangani lingkungan atau menetapkan pajak produksi perusahaan pencemar. Lobi, tekanan dan pengaruh untuk membuat perusahaan lebih memperhatikan lingkungan jauh lebih efektif daripada negosiasi dan transaksi yang dilakukan dengan uang. Pemerintah sebagai unsur politik yang mempunyai kewenangan dapat menangani masalah ini dengan kebijakan dan peraturan. Karena itu persoalan ini lebih tepat dibawa ke dalam kerangka peraturan dan kebijakan dan persoalan lingkungan di sini lebih bersifat politik daripada ekonomi karena kebijakan pemerintah yang akan membentuk model keputusan di tangan perusahaan maupun consumer (Congleton, 2005).
Di dalam banyak kasus persoalan lingkungan dianggap bukan karena kegagalan pasar (market failure) tetapi karena kegagalan kelembagaan dan kebijakan yang cenderung politik daripada ekonomi. Politik dan ekonomi sulit dipisahkan dalam politik lingkungan. Misalnya peran korporasi raksasa dalam mendapatkan akses dan penguasaan sumberdaya alam untuk diekploitasi dan diperdagangkan akan memberikan keuntungan secara finansial dan ekonomi. Namun semuanya melalui proses politik, lobi pemerintah, terlibat dalam politik pembuatan kebijakan, penggunaan kekuasaan uang untuk menguasai sumberdaya alam, mempengaruhi peraturan pemerintah atau melanggar kesepakatan.
Sulit mendapatkan definisi yang tepat, fokus ruang lingkupnya dan  spesifik tentang politik lingkungan. Bidang kajian ini bisa berada di dalam domain politik, kelembagaan, kebijakan, tata kelola, hubungan internasional, hukum, ekonomi dan perdagangan yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan.

Bahan Bacaan
Congleton, R.D. 2002. Environmental Politics and Economic Development. Cnter for Study of Public hoice,      George Mason University.
Dauvergne, Peter (ed). 2005. Handbook of Global Environmental Politics, University of British Columbia,         Canada , Edward Elgar, Cheltenham, UK • Northampton, MA, USA.
Graham, O.L. 1999. Environmental Politics and Policy 1960s to 1990s: 1960s to 1990s. Penn State Press.
Hyneman, C.S. 1959. The Study of Politics: The Present State of American Political Science, University of        Illinois Press, Urbana.
Kraft, Michael E. 2004. Environmental Policy and Politics, 3rd ed. Longman Publisher.
Lester, James P. (ed.). 1995. Environmental Politics and Policy: Theories and Evidence, 2nd ed. Duke University Press.
McLean, I. 1996. Oxford Concise Dictionary of Politics. Oxford university Press. Oxford.
Rosenbaum, Walter A. 2001.Environmental Politics and Policy, 5th ed. CQ Press.
The Berkeley Workshop on Environmental Politics. 1999. The University of Berkeley.
Varma, S.P. 1999. Modern Political Theory. Edisi Bahasa Indonesia. Raja Grafindo Persada.
Zimmerer, Karl S and Thomas J. Bassett Political Ecology: An Integrative Approach to Geography and             Environment-Development Studies. GuilfordPress.

Jumat, 08 Januari 2016

KONSEP PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA ISLAM DI TIMUR TENGAH PASCA ARAB SPRING



Diskursus mengenai konsep negara Islam menimbulkan keragaman dalam menafsirkan sesuai dengan pendapat dikalangan pemikir politik muslim modern tentang apa sesungguhnya yang terkandung dalam prinsip-prinsip konsep negara Islam. Seperti disebagian negara di dunia ini yang mengklaim dirinya sebagai negara Islam dengan mencirikan negara islam itu identik dengan memberlakukan hukum Islam di negaranya.
            Menurut teori-teori tata negara Islam klasik, konsep negara merupakan inti filsafat politik Islam. Istilah negara dalam literatur Islam yaitu Al-Qur’an, memang tidak ditemukan satu ayatpun. Kata Daulah merupakan istilah lain dari negara. Banyak di antara sarjana modern melukiskan Nabi Muhammad adalah “sebagai Nabi Penguasa atas komunitas Islam”, walaupun dalam kenyataannya nabi tidak pernah mengklaim dirinya sebagai penguasa.  Seperti Hasan Al-Mawardi yang cukup terkenal dalam sejarah Islam. Karyanya yang membicarakan secara luas mengenai pemerintahan dijadikan rujukan dalam zaman modern ini. Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah (Hukum Pemerintahan) merupakan karangan ilmiah pertama tentang ilmu politik dan admnistrasi negara dalam sejarah Islam.
            Gagasan Islam seperti itulah yang sering dikatakan sebagai awal munculnya Islam modern. Sampai-sampai ide gagasan negara Islam muncul pada awal kemerdekaan negara Indonesia yang saat itu dibahas pada masa konstituante. Salah seorang pahlawan nasional, Muhammad Natsir sangat dikenal di Indonesia juga luar negeri sebagai seorang tokoh Islam yang gigih untuk membela Islam sebagai Dasar Negara. Ide dan pemikirannya telah membuat catatan sejarah baru bagi perkembangan umat Islam di Indonesia.
Begitu pula yang terjadi di Timur Tengah, dengan lahirnya Era Islam yang juga mengurusi tatanan bermasyarakat atau bernegara, Timur Tengah mengalami babak baru. Tradisi kekuasaan politik pemerintahan monarki turun-temurun yang silih berganti memerintah di kawasan tersebut dihapuskan, diganti dengan sistem pemerintahan Teokrasi pada masa Muhammad dan Khulafa` al Rasyidin. Walaupun pada masa Umayyah, pemerintahan Islam kembali ke bentuk monarki, akan tetapi peran seorang khalifah sebagai pemimpin tetap merangkap sebagai seorang pemimpin agama. Bentuk kekhalifahan monarki ini bertahan hingga dipisahkannya secara jelas tentang urusan kekusaan dari agama pada akhir pemerintahan kekhalifahan Usmani dan lahirlah negara bangsa Sekuler. Walaupun pada dasarnya benih-benih pemisahannya telah ada sejak sistem pemerintahan teokrasi dirubah menjadi monarki.
Pemerintah Islam Muhammad yang diteruskan oleh generasi pemerintahan selanjutnya dibangun atas semangat persatuan umat Islam (Pan Islamisme). Bukan berdasar atas kesamaan bangsa, mengingat ekpansi Islam tidak hanya meluas ke wilayah-wilayah bangsa Arab saja, namun hingga mencapai wilayah Parsi, Mongol, Turki, bahkan Eropa yang notabene bukan Arab.
Di setiap wilayah-wilayah yang telah dikuasai Islam, diangkat seorang sultan yang berfungsi sebagai gubernur di zaman modern. Ia diberi kewenangan untuk mengelola dan memerintah wilayahnya dibawah kontrol khilafah. Tujuannya ialah; tugas pemerintah pusat lebih ringan. Wilayah-wilayah tersebut mendapat hak atas keamanan dan kemakmuran, dan mempunyai kewajiban membayar pajak terhadap pemerintah setempat yang kemudian diserahkan kepada khilafah sebagai upeti. Pajak-pajak yang diterima, dikelola dalam satu badan Baitul Mall, disamping Ghanimah (hasil rampasan perang). Hasil dari pengelolaannya dipergunakan untuk membiayai aparat pemerintahan, militer dan membangun sarana umum untuk melayani rakyat.
            Gagasan sistem demokrasi di Timur Tengah menguat pasca terjadi gerakan rakyat untuk menjatuhkan pemerintahan diktator di Mesir, Yaman dan lain-lain yang dilakukan oleh negara-negara Timur Tengah dengan melibatkan rakyat dan aktivis gerakan yang menentang pemerintahan sistem monarki maupun diktator pada sekitar tahun 2010 silam. Gerakan inilah yang menginginkan adanya revolusi pada sistem pemerintahan untuk merubah dari sistem pemerintahan monarki, federasi, konfederasi menjadi sistem demokrasi yang mana sistem demokrasi melibatkan kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, bahkan sering disebut “suara rakyat adalah suara Tuhan”.
Awal mula terjadinya isu demokrasi terhadap dunia Arab juga terjadi pada Tunisia berhasil menciptakan konstitusi islam pertama di dunia pada tahun 1860 dan dilaksanakannya pemilihan umum pertama di Mesir pada tahun 1868 di tambah adanya proses liberalisasi politik yang tidak memberikan efek positif terhadap negara-negara Arab dan memberikan ruang lebih bagi terciptanya sebuah sistem pemerintahan yang demokratis. Bahkan, negara-negara Arab cenderung mengalami proses yang berjalan kurang mulus karena selama berjalannya proses demokratisasi tidak ada inisiatif dari aktor-aktor internal seperti penguasa rezim dan dari masyarakat sendiri untuk melakukan konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi dipahami sebagai langkah untuk menstabilkan dan memantapkan proses demokratisasi yang berlangsung di suatu negara.
            Arab Spring “Musim Semi Arab” yang telah melanda di negara Timur Tengah justru menimbulkan berbagai konflik antar kelompok baik melalui sekte agama maupun antar suku, bahkan antar negara di Timur Tengah. Sehingga dari konflik itulah sampai sekarang memunculkan banyak kelompok radikal yang mengatasnamakan Agama. Dengan kenyataan inilah yang dapat mengancam masa depan demokrasi di Timur Tengah.
            Dengan adanya persoalan sekte dan suku akan menjadi pengahalang besar bagi kelancaran proses demokratisasi. Maka yang terjadi adalah model demokrasi konsosiasional dengan konsep power sharing, bahwa pembagian kekuasaan didasarkan pada porsi kelompok etnis dan sekte keagamaan yang ada di dalam masyarakat negara bersangkutan secara proporsional. Biasanya demokrasi seperti ini melalui hasil pemufakatan antar elit yang kemudian dilegalkan secara formal.
            Praktek demokrasi konsosiasional seperti yang diterapkan Libanon, yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga golongan utama negeri itu, yaitu Sunni, Kristen Maronit, dan Syiah. Menurut konstitusi Lebanon, perdana menteri dijabat oleh mereka yang berasal dari kaum Sunni, sedangkan presiden dijabat dari kaum Kristen Maronit, dan ketua parlemen dari kaum Syiah. Praktek ini masih berlaku hingga sekarang kendati saat ini mengalami ujian yang begitu berat.
            Selain praktek demokrasi di Libanon, Iran juga demikian. Presiden jabatan simbolis dapat diserahkan kepada kelompok Kurdi yang sebelum ini menjadi kelompok tertindas dan terpinggirkan. Sedangkan jabatan perdana menteri, pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, biasanya dimenangi oleh kelompok Syiah. Sedangkan wakil presiden kecenderungannya diserahkan kepada kaum Sunni.
            Demokrasi konsosiasional tentu bukanlah demokrasi yang ideal, demokrasi biasanya memegang kekuasaan penuh terhadap masyarakat. Bukanlah elit penguasa yang menjadi bagian pembagin kekuasaan terhadap sekte agama maupun suku. Sistem politik itu cenderung tidak menyatukan, tapi justru menegaskan keterpisahan. Ketegangan di level masyarakat tentu juga berpengaruh pada kesatuan negara-bangsa tempat mereka hidup bersama.
Demokrasi yang diterapkan di Timur Tengah bisa dikatakan tidak pernah berlangsung dalam kondisi normal, melainkan selalu dibawah tekanan dan suasana konflik. Baik konflik domestik atau akibat dari intervensi asing. Konflik internal biasanya lebih bersifat tersembunyi, sedang intervensi asing lebih terbuka. Dengan gagalnya Arab Spring yang ditunjukkan masyarakat menginginkan lepas dari rezim diktator yang dzalim justru menimbulkan rezim baru seperti yang terjadi di Mesir. Kemudian yang terjadi di Tunisia adanya rezim sekular, konflik berkepanjangan di Libya, hingga adanya pembantaian rakyat yang terjadi di Suriah. Itu semua merupakan perubahan sosial Arab Spring yang menimbulkan banyak kekecewaan.
Semua itu menandakan bahwa tidaklah sistem demokrasi yang di elu-elukan negara Timur tengah akan merubah menjadi baik. Justru yang terjadi banyak menimbulkan persoalan, seperti yang terjadi di Mesir, pemilihan presiden yang berjalan secara demokratis entah mengapa di kudeta oleh militer untuk mempertahankan rezim lama. Hal ini menandakan bahwa demokrasi telah menjadi alat legitimasi melalui cara-cara pemilu yang seolah demokratis. Lalu rezim lama akan berkuasa kembali setelah dilaksanakannya pemilu secara demokratis dengan mengklaim mendapatkan dukungan rakyat melalui pemilu.
Pemilu secara demokratis sangatlah mudah untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, dengan modal ikatan emosional dan popularitas akan mudah mendapatkan suara dari rakyat melalui kampanye sesaat. Oleh karena itu, mungkin akan sulit bagi beberapa negara yang memiliki nilai sosial dan kultural tertentu untuk berusaha mengadaptasi nilai-nilai demokrasi dalam dinamika perkembangan yang alamiah dan independen, karena terlalu banyaknya kepentingan dan intervensi dari negara-negara barat terhadap nilai demokrasi itu sendiri.

Sabtu, 02 Januari 2016

Polemik Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Antara Pemerintah Pusat dan Daerah



Sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang salah satunya mengatur tentang dana bagi hasil (DBH) atas pemanfaatan sumber daya alam daerah dengan pusat. Sebagaimana daerah yang mempunyai sumber daya alam dalam hal kewenangan, tanggung jawab, maupun pemanfaatannya melibatkan pula pemerintah pusat. Dalam hal ini, pembagian DBH masih menjadi polemik dimata masyarakat terutama kaum petani yang mengelola secara langsung sumber daya alam yang menjadi pekerjaan sehari-hari. Sebagai contoh kecil pembagian DBH dari hasil pemanfaatan sumber daya alam tembakau yang diperoleh daerah hanya sebesar 2% saja sedangkan dana untuk pemerintah pusat hingga sebesar 98%. Hal tersebut dinilai tidak adil dalam pembagian dana bagi hasil dan tidak ada penjelasan hukum yang diatur dalam UU sehingga dapat mengakibatkan ketimpangan bagi kepentingan petani tembakau tersebut.
Menilik banyaknya permasalah tentang pembagian DBH sumber daya alam antara daerah dengan pusat, pemerintah mempunyai rencana untuk mengubah dana besaran dana bagi hasil sumber daya alam yang di kutip oleh media CNN Indonesia, bahwasanya Kementerian keuangan tengah menggodok sejumlah ketentuan terkait dengan porsi DBH untuk daerah dari pemanfaatan sumber daya alam yang dilatarbelakangi oleh wacana perubahan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang saat ini telah dimasukkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015.
Menurut Anwar Syadat yang merupakan Kepala Sub Direktorat DBH SDA Kementerian Keuangan Pembahasan ini dilakukan agar DBH SDA bisa dialokasikan secara tepat dan sesuai dengan rencana penerimaan daerah penghasil SDA. Selain itu, pemerintah (pusat) juga akan menyempurnakan sistem penganggaran dan pelaksanaan atas PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang akan dibagi hasilkan ke daerah sesuai dengan kewenangannya.
Dari pernyataan Anwar Syadat yang akan merubah porsi DBH atas pengelolaan sumber daya alam dirincikan sebagai berikut ;
1.       DBH Perikanan dengan komposisi: 20 persen untuk Pemerintah Pusat dan 80 persen lainnya bagi Pemerintahan Kabupaten atau Kota penghasil SDA.
2.       DBH minyak bumi dengan komposisi: 84,5 persen untuk Pemerintah Pusat, 6 persen bagi Pemerintahan Kabupaten atau Kota penghasil SDA, 3 persen untuk Pemerintahan Provinsi yang wewenangnya mencakup lokasi pemanfaatan SDA, 6 persen untuk Pemerintahan Kabupaten atau Kota lainnya di provinsi yang sama, dan 0,5 persen sisanya untuk alokasi dana pendidikan.
3.       DBH gas bumi dengan komposisi: 69,5 persen untuk Pemerintah Pusat, 12 persen bagi Pemerintahan Kabupaten atau Kota penghasil SDA, 6 persen untuk Pemerintahan Provinsi yang wewenangnya mencakup lokasi pemanfaatan SDA, 12 persen Pemerintahan Kabupaten atau Kota lainnya di provinsi yang sama, dan 0,5 persen sisanya untuk alokasi dana pendidikan.
4.       DBH Panas Bumi dengan komposisi 20 persen untuk Pemerintah Pusat, 32 persen bagi kabupaten atau kota penghasil SDA, 16 persen untuk Pemerintahan Provinsi yang wewenangnya mencakup lokasi pemanfaatan SDA, 32 persen Pemerintahan Kabupaten atau Kota lainnya di Provinsi yang sama.
5.       DBH Royalti Mineral dan Batubara dengan komposisi 20 persen untuk Pemerintah Pusat, 32 persen bagi kabupaten atau kota penghasil SDA, 16 persen untuk Pemerintahan Provinsi yang wewenangnya mencakup lokasi pemanfaatan SDA, 32 persen Pemerintahan Kabupaten atau Kota lainnya di Provinsi yang sama.
Dari perencanaan ketentuan-ketentuan diatas yang akan digodok pada program legislasi nasional tahun 2015 diharapkan DBH antara pemerintah pusat dengan daerah bisa berimbang dan bersifat adil sehingga harapan kedepannya pengelolaan sumber daya alam dapat dikelola dengan baik tanpa ada kerugian dilain pihak dan juga DBH dapat dialokasikan pada sektor-sektor perekonomian yang sedang lemah agar stabilitas perekonomian bangsa tetap selalu terjaga.