Laman

Sabtu, 13 Juni 2015

Isi Video Understanding Diplomacy CEC

(Video di atas bisa dilihat di Youtube : Understanding Diplomacy CEC)

Video tersebut layaknya seperti perkuliahan yang menjelaskan topik tentang diplomasi mulai dari struktur hukum obyektif dan lain sebagainya. Diplomasi mencakup aspek ekonomi maupun politik, artinya diplomasi selalu ada pada setiap negara. Dan dalam video tersebut di jelaskan bahwa diplomasi sangat penting untuk hubungan internasional. Seperti yang dijelaskan Dr.Aprajita Kashyap selaku asisten profesor GGSIP University Delhi India, bahwa diplomasi merupakan aspek yang sangat penting dari hubungan internasional. Dari video tersebut dibagi menjadi 2 CD/part; yakni menjelaskan tentang dasar-dasar diplomasi mengusung hukum yang berkaitan dengan diplomasi dari tujuan diplomasi itu sendiri dan dimana melakukan pemutusan diplomasi itu berakhir dan apa instrumen yang digunakan untuk diplomasi sehingga mencapai tujuan. Kemudian jenis diplomasi yang penting mencakup diplomasi tradisional dan diplomasi baru dengan mengambil sebuah contoh kasus. Kemudian pada bagian CD kedua yakni akan menjelaskan tentang aspek kontemporer/kekinian .
Pada CD pertama akan menjelaskan aspek khas politik internasional yang pada intinya ada interaksi antara negara-negara harus ada kordinasi semacam badan yang harus mengatur hubungan internasional. Seperti yang ditampilkan pada layar bahwa terdapat aspek yang sedang berlangsung pada diplomasi tentang konflik, jadi misalnya terjadi konflik yang terus-menerus bertentangan hasilnya penghargaan dan jika ada kerjasama bahwa kerjasama pada umumnya merupakan hasil dari diplomasi melalui negosiasi yang stabil dan tertib. Suatu proses negosiasi yang merupakan pusat kerja politik dunia dan termasuk resolusi konflik untuk dialog dan negosiasi.
Tugas Diplomasi menurut Hans P.Morgenthau, yaitu :
- Diplomasi harus menentukan tujuannya yang melatarbelakangi kekuasaan dan terdapat potensi
- Harus menilai tujuan bangsa lain dan kekuasaan mereka
- Harus menentukan sejauh mana tujuan yang berbeda yang kompatibel dengan satu sama lain
- Harus menggunakan cara yang efektif untuk mencapai tujuannya
Yang mempengaruhi fitur dalam diplomasi yakni instrumen yang harus di ingat, yang pertama adalah bahwa diplomat yang mewakili rumah pemerintah atau sebagai utusan dari negaranya dan patuh terhadap kebijakan negara, fitur yang kedua adalah bahwa mereka berkomunikasi dengan pemerintah mereka sendiri seolah-olah mereka sebagai perwakilan dari negaranya misalnya diplomatik di dalam diplomat india yang baru. Amerika Serikat akan
berkomunikasi atas dasar sudut pandang dan tujuan pemerintah India ke negara Amerika Serikat dan resultan NYC tapi mengatakan mereka akan membawa pandangan dari Inggris pemerintahan Amerika dan tidak bisa untuk mengkomunikasikannya kepada yang satu pemerintahan di negeri sendiri. Dan fitur yang ketiga adalah bahwa dalam bernegosiasi ada jalur yang mendamaikan kepentingan dan pandangan dari orang lain yang tidak dimilikinya.
Untuk mencapai tugas dalam diplomasi harus melakukan hal-hal sebagai berikut :
- Dialog
Kita harus berbicara dan menyajikan point-point melihat dan mendengar sudut pandang pihak lain. Dengan dialog merupakan tahap awal untuk setiap diplomatik meliputi putusan-putusan yang diambil. Perlu diketahui juga bahwa dialog harus terjadi antar negara-negara
- Negosiasi
Kita harus siap untuk memberikan seberapa besar tidak bahwa itu hanya situasi menang atau mendapatkan sesuatu atau juga sebaliknya kita tidak akan mendapatkan sesuatu
- Tujuan
Harus mencapai tujuan untuk kepentingan tertentu baik itu dengan cara membujuk aktor-aktor dalam diplomasi
- Kompromi
Kompromi tidak selalu akan berhasil, maka dari itu harus berkompromi dengan hal-hal tertentu yang dibutuhkan
- Ancaman kekerasan
Ini merupakan senjata terakhir dalam melakukan tugas-tugas diplomasi dengan menggunakan kekuatan dan juga dengan cara ini memungkinkan mampu mencapai tujuan.
Ujung :
Yang terakhir adalah dengan menciptakan ketidakstabilan tentu saja dengan pilihan aktor yang berbeda, menciptakan ketertiban dan norma-norma perilaku dalam arena politik internasional bahwa norma-norma tertentu terdapat pada pedoman suatu negara oleh karena itu pada saat negosiasi diharapkan untuk mematuhi norma tersebut misalnya pengakuan atau akreditasi baik yang diberikan untuk melakukan misi diplomatik sehingga sebagai diplomatik diwakili olehnya, mecegah konflik krisis ke dalam perang-krisis menejemen atau biasa disebut dengan menejemen krisis yang jika meskipun menghindar akan hal-hal yang ada pada situasi pastinya akan meningkat menjadi situasi perang
misalnya seperti pada krisis perang di Kuba bahwa putusan Henry Kissinger atau Nixon sangat penting karena terdapat taktik diplomasi yang menakjubkan oleh Henry Kissinger. Dalam manajemen ini merupakan akhir penting diplomasi, pencapaian bunga bangsa dengan cara mempromosikan kepentingan nasional.
Fungsi dari mesin diplomasi :
- Pengumpulan Informasi
Pengumpulan informasi penting karena merupakan sebuah masukan yang datang dan akan membantu kebijakan atau menginformasikan kebijakan baru sehingga informasi akan menjadi penting dalam pertemuan antar negara
- Saran kebijakan
Adanya reaksi dari pemerintah atas kebijakan yang diambil atau bisa melalui memberikan masukan kepada pemerintah dalam kebijakan yang akan diterapkan oleh pemerintah
- Perwakilan
Perwakilan diplomatik yang membuat representasi politik dan perwakilan hukum atas negosiasi terhadap antar negara-negara
- Negosiasi
Orang-orang yang mempunyai misi diplomatik yang terlibat dalam prosedur negosiasi yang lain dengan negosiasi pemerintah negara lain atas nama pemerintah.
- Dukungan konsular- dan melindungi warga di luar negeri
Adanya upaya pelindungan terhadap warga yang tinggal di negerinya.
Representasi/perwakilan merupakan cerminan baik atau buruknya mesin diplomasi, oleh karena itu ada tiga aturan dasar representasi yang perlu berjalan dengan baik dalam konsep diplomasi, yaitu:
- Representasi simbolis
Sebagai contoh duta besar AS di London benar-benar mewakili point-of-view dan akan mewakili Presiden dan Dewan Menteri
- Perwakilan Hukum
Maskipun duta adalah hukum wakil dari pemerintah, misalnya duta AS di London adalah nyata mewakili konstitusinya dan kebijakan hukum negara. Mereka akan mewakili negaranya seakan-akan ia adalah pemerintah yang mewakili hukum konstitusi dan kebijakan pemerintah di negara lain
- Representasi politik
Berisikan kebijakan politik dan bagaimana reaksi politik yang merupakan opini publik dan dibawa ke pemerintahan negaranya yang kemudian terlihat tindakan terakumulasi dan menganalisis sehingga akan mempengaruhi kebijakan yang diambilnya.
Jika kita melihat norma-norma diplomasi maka setiap negara ada sebuah peraturan yang mengikat antara negara tersebut. Norma yang pertama adalah pengakuan. Dalam sistem politik Internasional mengenal adanya pengakuan dari negara-negara lain, fakta tersebut bahwa negara akan mempunyai misi diplomatiknya seluruh dunia sekarang dan kedutaan. Kedua diplomasi normal adalah bahwa kedutaan dianggap di dikte menghidupkan kembali negara kedutaan.
Dalam CD kedua; jika pengakuan diplomatik yang merupakan tambahan yang baik dan diplomat harus mempunyai pemerintah credentialed, sehingga itu merupakan adat bagi negara manapun untuk mengenali para diplomat pada negara-negara lain. Kelemahan pada kekebalan diplomatik suatu negara setidaknya seorang diplomat mempunyai kekebalan kedua yang mempu memprediksi terhadap aturan-aturan tertentu. Kemudian bahwa harus ada hubungan diplomatik antara negara yang berbeda yaitu jika negara yang telah diakui oleh PBB dan sepatutnya telah diakui oleh negara lainn, maka harus membangun kedutaan diplomatik sebuah misi pemboman atau komisi tinggi-tinggi di setiap negara karena mempunyai saluran dan komunikasi.
Perlu diketahui setiap negara mempunyai gaya diplomasi sendiri, kemudian di beberapa negara mengikuti gaya tradisional diplomasi tersebut maka disini akan dibahas empat kategori jenis diplomasi yaitu :
- Diplomasi terbuka atau rahasia
Jika kegiatan diplomasi yang mereka lakukan tersebut di siarkan di TV secara langsung maka diplomasi terbuka sehingga setiap kali terdapat negosiasi diplomatik mereka duduk dan ada orang-orang yang hanya pemirsa dan saksi maka disebut dengan diplomasi terbuka.
Jika negosiasi bersifat tertutup itu dapat ditemukan tidak ada orang luar, tidak ada TV, tidak ada siaran secara langsung maka disebut dengan diplomasi rahasia.
- Diplomasi privat atau publik
Jenis diplomasi yang berlangsung atas inisiatif individu, swasta, perorangan dan bersifat terbuka dan fleksibel maka disebut diplomasi privat
Jenis diplomasi yang berlangsung atas kepentingan negara dan lebih terstuktur maka disebut diplomasi publik
- Diplomasi murni atau campuran
Ketika kita hanya menggunakan proses politik, teknik diplomatik dan mencampurnya dengan masalah utara dengan instrumen cukup murni diplomasi. Biasanya diplomasi murni seringkali berbicara tentang isu-isu politik, sedangkan diplomasi campuran biasanya berbicara tentang masalah ekonomi sebagai diplomatik teknik baik kita menggunakan militer sebagai teknik diplomatik
- Diplomasi tradisional atau baru
Diplomasi tradisional memiliki keterbatasan tentang aturan dibandingkan diplomasi baru yang lebih fleksibel .
Proses Diplomasi malalui :
- Bilateral (jenis hubungan yang melibatkan dua pihak)
- Diam-diam
- Berdasarkan keputusan bersama untuk menyelesaikan sengketa
- Teritorial tambahan
- Terbatas Eropa

Selasa, 26 Mei 2015

NEGARA DAN ISLAM



A.    Sifat dan Hubungan Negara dan Agama
Dalam pemikiran politik Islam Al-Mawardi terdapat tiga paradigma tentang hubungan agama dan negara:
1.      Integrasi, yaitu agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya, menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Ilahi" (divine sovereignty), karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di "tangan" Tuhan. Ajaran normatif bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dari negara didukung pula oleh pengalaman umat Islam di Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad.
2.      Simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.Pandangan tentang simbiosis agama dan negara ini dapat ditemukan, umpamanya, dalam pemikiran al-Mawardi (w. 1058), seorang teoritikus politik Islam terkemuka pada masa klasik. Pada baris pertama dari karyanya yang terkenal, al-Ahkam Sulthaniyah, al-Mawardi menegaskan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.
3.      Sekularistik, yaitu menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara.

B.     Kekuasaan dalam Negara
Mengenai timbulnya kekuasaan dalam Negara, Islam mempunyai pendirian yang berlainan dari teori-teori kekuasaan dalam Negara yang di angkat oleh para ilmuan barat. Dalam islam di terangkan bahwa Allah telah mengatakan kepada malaikat bahwa akan menciptakan Adam sebagai penguasa di muka bumi dan Allah juga menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa Allah mengangkat Daud sebagai penguasa di bumi. Artinya kekuasaan dalam Islam merupakan mutlak milik Allah dengan dedelegasikan tugas itu kepada utusan-utusan yaitu manusia yang dimuliakan oleh Allah yaitu para Nabi dan Rosul.
Akan tetapi teori ini tidak sama dengan teori teokrasi yang dibawa oleh para ilmuan barat yang menganggap bahwa kekuasaan dalam sebuah Negara itu merupakan bij gratie Gods (karunia Tuhan) tetapi bagaimana pengusa itu menggunakan kekuasaan tidak di perdulikan yang akhirnya timbul kekuasaan yang semena-mena dan di atas namakan Tuhan. Akan tetapi Islam memberi panduan dan petunjuk dalam melakasanakan amanah-amanah dalam kekuasaan yang telah tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Kekuasaan dalam Islam mutlak hanya pada Allah SWT adapun didunia ini didelegasikan pada para utusanya untuk membimbing dan memimpin umatnya yang disebut para Nabi dan Rasul mulai nabi Adam hingga Muhammad.Setelah Nabi Muhammad sudah tidak ada lagi nabi berikutnya hingga digantikan oleh para khalifah.Mulai masa khalifah inilah seluruh tata kehidipan yang ada diatur oleh seorang khalifah dengan berlandaskan pedoman Al-Qur’an dan Al-Hadits. Semua perkara diselesaikannya, mulai dari tata cara ibadah, tata kehidupan, kepemimpinan, sistem kenegaraan semua harus sesuai ddengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Jadi pada dasarnya Islam itu mempunyai teori dan aturan tersendiri yang sesungguhnya semua aturan itu di sandarkan pada Tuhan dengan panduan atau pedoman yang telah diberikan yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Segala teori aturan atau manhaj inilah yang merupakan sebuah kesempurnaan dan yang akan memberikan kemaslahatan seperti yang dijanjikan oleh Allas SWT.

C.    Konsep Islam dalam Negara Indonesia
Islam adalah faktor penting dalam bangunan kebangsaan Indonesia. Sumber daya budaya, sosial dan politik serta ekonomi negara ini secara potensial berada dan melekat dalam tubuh warganya yang mayoritas muslim. Kolaborasi Islam dan budaya lokal selama berabad-abad hingga cucuran keringat, air mata dan darah para syuhada’ telah memperkokoh bangunan ke-Indonesia-an modern.
Dengan mempertimbangkan keragaman agama sebagai salah satu faktor dalam nasionalisme, maka perjuangan mewujudkan berlakunya syari’at Islam di tengah-tengah masyarakat dapat dilakukan melalui gerakan-gerakan kultural dan struktural melalui sarana politik, sebagai bentuk dari pengamalan syuro. Dalam konteks ini maka pilihannya bukan negara Islam atau juga system khilafah yang menerapkan syariah atau negara sekuler yang menolak syariah, tapi negara Indonesia yang merealisasikan nilai-nilai universal ajaran agama (Islam) dalam bingkai Ukhuwwah Basyariyyah, Ukhuwwah Islamiyyah, dan Ukhuwwah Wathaniyyah.
Islam dan Nasionalisme Indonesia adalah dua sisi mata uang yang saling memberikan makna.Keduanya tidak bisa diposisikan secara diametral atau dikhotomik.Nasionalisme selalu meletakkan keberagaman atau pluralitas sebagai konteks utama yang darinya dapat melahirkan ikatan dasar yang menyatukan sebuah negara bangsa.Idealnya umat Islam tidak perlu merasa khawatir kehilangan identitasnya karena persenyawaannya dalam negara bangsa. Itulah sebabnya Al mawardi, dalam kitab al-Ahkam al Shulthaniyyah mempersyaratkan keadilan bagi seorang pemimpin negara dan tidak memasukkan syarat harus beragama Islam, dan dalam kitabnya yang lain, yakni Adab al-Dunya wa al-Din ia merumuskan proposisi bahwa umur persatuan sebuah bangsa sesungguhnya ditentukan oleh keadilan dalam bangsa itu. Selama keadilan ada dalam kehidupan bangsa itu, selama itu pula mereka akan tetap bersatu. Begitu keadilan berganti dengan kezhaliman, maka tunggulah saat perpecahan mereka.
D.    Indonesia dengan Islam
Indonesia sebenarnya bisa makmur dengan etika keislamannya, tentunya apabila semua penduduk muslim yang ada di Indonesia adalah muslim yang sholeh, muslim yang sholeh pasti akan bekerja keras, membela negaranya, tidak korupsi, tidak melakukan kejahatan dan selalu takut dengan tuhannya. Sayangnya sebagian muslim yang ada di Indonesia adalah muslimjadi-jadian yang terkadang soleh akan tetapi sering juga Tholih (lawan kata sholih adalahtholih). Sama hal nya di Eropa dan Amerika, apabila kaum protestan yang ada disana bukanlah kaum sholeh belum tentu negaranya bisa kaya dan makmur.
Bagaimana caranya agar Indonesia menjadi negara kaya, dan mengalami pembangunan yang hebat kalau menuruti teorinya max weber? Inilah pertanyaan yang muncul dalam pikiran penulis dan dalam jawaban / pendapat penulis ialah setiap warga Indonesia yang islam harus mengikuti ajarannya dengan sebaik-baiknya, harus tekun beribadah dan giat bekerja seperti apa yang telah disabdakan ALLAH SWT dan nabinya. Kesuksesan dan kekayaan adalah buah dari bekerja keras yang didasari niat untuk beribadah.
Kesimpulan yang bisa diraih dari teori Max Weber dalam pembangunan Indonesia adalah negara Indonesia akan berkembang dan maju, kaya dan makmur apabila masyarakat Indonesia dari berbagai agama harus patuh dan taat terhadap tuhannya. Apabila semua rakyat takut dengan tuhannya, takut apabila besok di hari kiamat masuk neraka pastinya tidak adalagi tindakan kejahatan, produktivitas meningkat, kemiskinan berkurang dan masyarakat akan makmur. Mengapa harus semua agama? padahal mayoritas beragama islam? Hal ini tentu harus dilakukan oleh semua pemeluk agama, semua agama mengajarkan pemeluknya untuk giat bekerja sehingga semua akan membantu pembangunan negara Indonesia yang tercinta ini.



DAFTAR PUSTAKA
http://edukasi.kompasiana.com/hubungan-islam-dengan-indonesia/
Kamaruzzaman.2001.Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernis dan fundamentalis, Magelang: Yayasan Indonesia Tera

PEMIKIRAN JOHN LOCKE "TWO TREATISES OF GOVERNMENT"



Pokok-Pokok Pemikiran John Locke Dalam Two Treatises Of Government

A.         Perseteruan Intelektual Locke dan Filmer

Sebelum Locke menulis Two Treatises of Government kehidupan politik Inggris dan Perancis Abad XVII didominasi oleh wacana doktrin monarki absolut. Dalam konteks sejarah Inggris, kelahiran doktrin monarki absolut itu merupakan jawaban terhadap kekacauan sosial politik akibat perang saudara dan perang-perang agama yang terjadi pada saat itu.

Monarki absolut didasarkan pada kepercayaan bahwa kekuasaan mutlak raja bersifat ilahiah dan karena itu suci. Tuhanlah yang telah menganugerahkan kekuasaan itu kepada seorang raja. Kepercayaan ini kemudian terkenal dengan sebutan hak-hak ketuhanan raja.,Pandangan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa monarkhi absolut merupakan bentuk pemerintahan paling sesuai dengan kodrat hukum alam karena tiga alasan. Pertama, monarki absolut berakar pada tradisi otoritas paternal. Kedua, sistem pemerintahan monarki absolut merupakan copy Kerajaan Tuhan di muka bumi. Ketiga, monarki absolut merupakan cerminan kekuasaan tunggal Tuhan atas segala sesuatu di dunia ini.

Sementara itu, Locke hadir sebagai penentang gigih terhadap monarki absolut di negaranya. Locke menganggap bahwa monarki absolut bertentangan dengan prinsip civil society yang diyakininya. Dari sinilah sebenarnya letak permusuhan intelektual Locke dengan Sir Robert Filmer, penyokong utama paham absolutisme kekuasaan monarki Eropa Abad XVII yang dituangkan dalam karyanya Patriarcha.

Pandangan Filmer ini sangat mengunggulkan wewenang politis raja karena alasan auctoritas paterna (wewenang selaku ayah) dari Nabi Adam yang diterimanya dari Tuhan dan kemudian diteruskan kepada para raja. Jadi, menurut Filmer, raja, seperti Adam, menerima wewenangnya langsung dari Tuhan dan oleh karena itu tidak bertanggung jawab kepada masyarakat atau parlemen. Apabila disimpulkan, filsafat negara Filmer tersebut berpuncak pada dua tesis penting, yaitu :
(1) setiap kekuasaan bersifat monarki mutlak, dan
(2) tidak ada orang yang lahir bebas.
Dua hal ini kelak ditolak oleh Locke.

B.          Perjanjian Masyarakat

Ajaran Locke tentang negara mempunyai pengaruh yang sangat besar di berbagai belahan dunia. Konsep government by consent of the people (pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat) dan paham kepercayaan (trust) rakyat kepada pemerintah sebagai dasar legitimasinya termasuk paham-paham dasar ilmu politik modern. Kekuasaan tidak lagi dapat menghindari pertanggungjawaban dengan menggunakan argumen bahwa ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian, Locke mengaitkan kembali wewenang pemerintahan pada “delegation”, pada penyerahan pemerintahan itu oleh mereka yang diperintah. Locke membongkar dasar dari klaim raja bahwa kekuasaan mutlak dan tidak terbatas.
Kekuasaan politik, menurut Locke, adalah suatu keadaan alamiah (state of nature) yang di dalamnya terdapat hukum alam yang tidak lain adalah hukum Tuhan yang mengatur keadaan alamiah. Keadaan alamiah ini mendahului eksistensi negara. Dalam keadaan alamiah, manusia itu sama dalam pengertian bahwa semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka. Manusia secara alamiah sebenarnya baik. Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation”. Hak dasar terpenting manusia adalah hak atas hidup dan hak untuk mempertahankan diri. Dengan demikian, manusia dalam keadaan alamiah sebenarnya sudah mengenal hubungan-hubungan sosial. Pandangan Locke yang sangat positif dalam memandang state of nature manusia ini sangat berbeda dengan pendahulunya, yakni Thomas Hobbes yang penuh curiga terhadap state of nature manusia.
Gagasan state of nature yang ditawarkan Locke tersebut sebenarnya tidak lebih orisinil dibanding gagasan state of nature yang ditawarkan Hobbes yang menggambarkan keadaan mula manusia sebagai homo homini lupus dan bellum omnium contra omnes. State of nature dalam konsep Locke diambil dari pemikir sebelumnya yang penuh nuansa teologis. Oleh karena itu, menurut Bertrand Russell, state of nature dalam konsep Locke ini tidak lebih dari sekedar pengulangan doktrin skolastik abad pertengahan. Pelukisannya tentang keadaan alamiah yang bahagia, masih menurut Russel, tidak lain merupakan suatu pengulangan mitos klasik Alkitab mengenai kejayaan masa lampau. Dari pandangan Locke tentang state of nature ini yang kemudian melahirkan konsep perjanjian negara.
Sebagaimana disebut di atas, menurut Locke, negara itu didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang  dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties). Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah inalienable rights (hak-hak yang tidak asing) dan negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut.
Motivasi manusia untuk mendirikan negara, yaitu menjamin hak-hak asasinya, terutama hak miliknya, menjadi tujuan negara. Oleh karena itu, kewajiban-kewajiban utama negara adalah untuk melindungi kehidupan dan hak milik para warga negara. Hanya demi tujuan itulah para warga negara meninggalkan kebebasan mereka dalam keadaan alamiah yang penuh ketakutan itu. Oleh karena itu, negara mempergunankan kekuasaannya untuk memelihara lahir batin kepentingan masyarakat.
Dari penjelasan di atas, Locke tampak sekali telah melakukan desakralisasi terhadap kekuasaan politik. Ia menjadikan kekuasaan politik sepenuhnya bersifat sekuler. Artinya, kekuasaan bersifat duniawi dan sama sekali tidak berkaitan dengan transendensi ketuhanan atau gereja. Ini merupakan perbedaan penting gagasan kekuasaan politik Locke dengan Santo Aquinas, Thomas Aquinas, dan lain-lain.
Pada tingkat ini, gagasan kekuasaan politik Locke memiliki kemiripan dengan gagasan kekuasaan politik Hobbes. Akan tetapi, gagasan Locke banyak dinilai lebih rasional dalam memandang hubungan kekuasaan antara rakyat dan penguasa. Menurut Locke, konstruksi membentuk negara (body Politic), sebagaimana Hobbes, melalui perjanjian masyarakat. Perbedaannya dengan Hobbes adalah kalau dalam perjanjian masyarakat Hobbes lebih menonjolkan satu macam perjanjian, yaitu pactum subjectionis (perjanjian penyerahan), maka dalam perjanjian masyarakat Locke terdapat dua perjanjian, yaitu pactum unionis (perjanjian membentuk negara) dan pactum subjectionis (perjanjian penyerahan).
Pada tahap pertama diadakan pactum unionis (perjanjian membentuk negara), yaitu perjanjian antarindividu untuk membentuk body politic, yaitu negara. Kemudian pada tahap kedua, para individu yang telah membentuk body politic tersebut bersama-sama menyerahkan hak untuk mempertahankan kehidupan dan hak untuk menghukum yang bersumber dari hukum alam. Perjanjian penyerahan ini disebut pactum subjectionis (perjanjian membentuk kesatuan, organisme, atau negara).
Selanjutnya Locke menegaskan bahwa bahwa tujuan dasar dibentuknya suatu kekuasaan politik adalah untuk melindungi dan menjaga kebebasan sipil. Demi melindungi kebebasan sipil itu, cara apa pun boleh dilakukan oleh negara. Negara diperbolehkan menggunakan kekerasan sejauh demi tujuan itu dan bukan tujuan lain seperti kejayaan bangsa, kebajikan bersama, dll.
 Hal ini boleh jadi juga menjadi salah satu pendapat Locke yang sulit untuk dijelaskan dalam dunia modern.

C.          Konstitusi

Untuk mencegah timbulnya negara absolut dan terjaminnya kehidupan civil society, Locke berbicara mengenai peran strategis konstitusi dalam membatasi kekuasaan negara yang dibayangkannya. Konstitusi ini mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai pembatasan prinsipil terhadap kekuasaan negara.

Dalam membahas konstitusionalisme, yang terpenting adalah usaha mempertahankan hak-hak individu untuk terus-menerus menumpuk kekayaan pribadi sejauh tidak merampas hak-hak serupa orang lain. Jadi, konstitusionalisme Locke tidak selalu diartikan sebagai usaha perlindungan terhadap hak-hak individu berhadapan dengan kekuasaan (penindasan) negara.
Terlepas dari perbedaan penafsiran paham konstitusionalisme, gagasan Locke ini telah menempatkan dirinya sebagai pelopor gagasan negara konstitusional dalam sejarah politik Barat. Pada dasarnya, gagasan konstitusionalisme ini didasarkan pada keperluan untuk membatasi kesewenang-wenangan negara.
Konstitusi bagi Locke merupakan elemen yang sangat penting dalam suatu negara, karena di dalamnya termuat aturan-aturan dasar pembatasan kekuasaan dan hak-hak asasi warga negara. Aturan-aturan konstitusional ini tidak boleh dilanggar oleh penguasa negara.

D.         Pemisahan Kekuasaan

Menurut Locke, kemungkinan munculnya negara totaliter juga bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk: kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).
Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik mengenai tugas atau fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya.[28] Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih terjamin.
Kekuasaan legislatif, menurut Locke, tidak boleh dialihkan kepada siapa pun atau lembaga manapun, karena pada hakikatnya kekuasaan legislatif adalah menifestasi pendelegasian kekuasaan rakyat pada negara. Undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif bersifat mengikat kekuasaan aksekutif. Pelaksanaan kekuasaan eksekutif tidak boleh menyimpang dari undang-undang yang telah digariskan oleh parlemen. Hal ini berarti, Locke menempatkan kekuasaan legislatif lebih tinggi daripada kekuasaan eksekutif.
Kemudian timbul pertanyaan, siapakah yang mengontrol kekuasaan legislatif? Locke berpendapat bahwa yang mengontrol kekuasaan legislatif adalah hukum kodrat yang diciptakan Tuhan demi kebajikan seluruh rakyat, menentukan apa yang seharusnya dan tidak dilakukan legislatif misalnya tidak boleh merumuskan undang-undang yang membatasi kebebasan, melanggar hak-hak asasi individu atau bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh mayoritas rakyat.
Sedangkan kekuasaan eksekutif dalam konsep Locke diperlukan untuk membatasi kekuasaan legislatif. Raja merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif ini. Pembatasan ini penting untuk menghindari kekuasaan legislatif mempunyai fungsi kekuasaan eksekutif yang berarti terjadi pemusatan kekuasaan. Eksekutif berhak mengambil tindakan yang melampaui batas wewenang legalnya apabila hal itu dirasakan perlu demi preservation of all dan kebajikan rakyat.
Kekuasaan eksekutif juga berhak memanggil kekuasaan legislatif untuk bersidang. Meskipun demikian, Locke juga menegaskan bahwa apabila eksekutif menyalahi kedudukannya itu, maka hal sama artinya dengan pernyataan perang kepada rakyat. Rakyat diperbolehkan untuk melawannya, bahkan menggunakan kekerasan sekalipun.
Penggunaan kekerasan oleh rakyat yang dibenarkan dalam konsep Locke tersebut cukup mengherankan, mengingat kekerasan ini justru akan membawa pada sikap barbarian yang bertentangan dengan keadaan alamiah manusia. Sebagaimana disebut di atas, dalam keadaan alamiah, manusia itu sama dalam pengertian bahwa semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka. Manusia secara alamiah sebenarnya baik. Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation”.
Akan tetapi, menurut Bertrand Russel, Locke sangat trauma dengan peristiwa politik di Inggris pada tahun 1628-1640, yaitu pada masa Raja Charles memerintah Inggris tanpa mengikutsertakan parlemen. Peristiwa politik ini, menurut Locke, tidak boleh terulang lagi.
Berkaitan dengan kekuasaan federatif, Locke berpendapat bahwa kekuasaan itu berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menetukan perang, perdamaian, liga, dan aliansi antarnegara. Demi alasan praktis, Locke memasukkan kekuasaan federatif ke dalam kekuasaan eksekutif. Kekuasaan seorang raja dalam konsep Locke ini masih sangat besar. Oleh karena itu, Locke menyebutnya dengan monarki moderat (moderated monarchy).
Ajaran pemisahan kekuasaan, terutama setelah dikembangkan oleh Montesquieu, ini kemudian terkenal dengan sebutan Trias Politica. Dari waktu ke waktu, ajaran ini tidak berlangsung secara statis tanpa perkembangan apa pun, tetapi justru bergerak sangat dinamis dan banyak melahirkan ide-ide baru. Secara empiris, sebenarnya tidak ada lagi negara yang secara absolut menerapkan Trias Politica. Dalam negara abad XX apalagi di negara-negara dalam kategori developing countries di mana kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial telah menjadi sedemikian kompleksnya serta kekuasaan eksekutif diserahi tanggung jawab yang semakin besar untuk mengatur hampir semua aspek kehidupan masyarakat, Trias Politica dalam arti pemisahan kekuasaan sebenarnya tidak dapat lagi dipertahankan.

E.          Relasi Pemikiran Hobbes, Locke, dan Rosseau

Ada baiknya menelaah hasil-hasil pemikiran Locke dengan membandingkannya dengan pemikir sebelum dan sesudahnya untuk mengetahui dinamika berpikir konsep tentang negara dan manusia. Hobbes seringkali dianggap orang yang berjasa memperkenalkan teori kontrak sosialnya yang kemudian diikuti oleh dua penerusnya, Locke, dan Rosseau. Walaupun di antara ketiganya ada juga perbedaan-perbedaan yang cukup tajam.
Hobbes memulai pendapatnya dengan memandang secara negatif terhadap manusia. Hobbes berpendapat bahwa individu-individu itu bersifat egois dan saling mencurigai satu sama lain. Karena kebutuhan-kebutuhan mereka harus dipenuhi dalam wilayah dan dari persediaan alamiah yang sama, mereka tidak dapat saling menganggap sepi. Mereka berada dalam situasi persaingan. Individu satu merupakan pesaing bagi individu lainnya, dan karena itu harus dimusuhi. Akhirnya, terpaksa masing-masing mengambil tindakan untuk saling melindungi. Dari pandangan inilah kemudian muncul catchword dari Hobbes yang sangat terkenal, yakni homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lain) dan bellum omnium contra omnes (perang semua lawan semua).
Keadaan inilah yang akhirnya memaksa individu-individu itu untuk mengambil tindakan bersama. Mereka mengadakan perjanjian di antara mereka sendiri dan saling memberi janji untuk mendirikan satu lembaga dengan wewenang mutlak untuk menata mereka melalui undang-undang dan untuk memaksa semua agar taat terhadap undang-undang itu. Mereka menyerahkan semua hak alamiahnya kepada lembaga itu, kecuali tentu hak untuk melindungi diri. Hal ini disebabkan hak itulah yang mendasarkan kerelaan mereka untuk tunduk terhadap lembaga itu. Dari perjanjian bersama ini lahirlah negara.
Perjanjian itu tidak diadakan antara individu-individu dengan negara (karena pada waktu mereka mengadakan perjanjian, negara belum ada), tapi antara individu-individu saja. Isi perjanjian itu adalah untuk manciptakan negara. Jadi, negara bukanlah patner dalam perjanjian itu, tetapi hasil buahnya. Hobbes menarik kesimpulan bahwa negara –karena tidak ikut mengadakan perjanjian itu- tidak terikat olehnya dan tidak dapat juga melanggarnya.
Artinya, dalam perjanjian itu individu-individu menyerahkan semua hak mereka kepada negara, tetapi negara tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap mereka. Begitu mereka selesai menciptakan negara, negara akan berdiri tegak dengan segala hak, tetapi tanpa kewajiban apa pun.
Sebagaimana disebutkan di atas, perbedaan pandangan Locke dan Hobbes dalam perjanjian masyarakat adalah kalau Hobbes lebih menonjolkan satu macam perjanjian, yaitu pactum subjectionis (perjanjian penyerahan), maka dalam perjanjian masyarakat Locke terdapat dua perjanjian, yaitu pactum unionis dan pactum subjectionis.
Menurut R.S. Downie, teori perjanjian negara ini didasarkan pada gagasan bahwa suatu tatanan politis hanya sah sejauh semua yang hidup di dalamnya sebagai orang yang bebas dan sama, dapat menyetujuinya dalam sebuah perjanjian. Ada yang menganggap teori itu sebagai penjelasan tentang asal usul negara secara historis. Artinya, semua negara pernah berdasarkan suatu perjanjian seperti itu (suatu gagasan yang secara historis tidak dapat dipertahankan), dan ada yang menganggapnya sebagai gagasan hipotesis yang mau menjelaskan legitimitas negara. Hobbes termasuk orang yang mempunyai pandangan hipotesis ini.
Sementara itu, Jean-Jacques Rosseau bertolak dari adanya kehendak individual masing-masing orang (volonté particulière). Dari sini, muncullah kehendak semua (volontè de tous). Kemudian, muncullah kehendak umum (volonté générale), yaitu kehendak bersama semua individu yang mengarah kepada kepentingan bersama, kepentingan umum. Kehendak umum itu dapat disaring dari kehendak semua melalui pemungutan suara. Dalam pemungutan suara kepentingan-kepentingan khusus –yang bertentangan satu sama lain- saling meniadakan, sehingga akhirnya tinggal kepentingan umum yang dikehendaki oleh semua.
Dengan demikian, Hobbes dan Locke bertolak dari pengandaian yang sama, yakni mendirikan negara berarti melepaskan beberapa hak kepada negara. Keduanya berbeda pendapat tentang banyaknya hak yang harus dilepaskan oleh individu dan hak yang mana yang tetap dimilikinya berhadapan dengan negara. Keduanya juga membatasi kekuasaan negara walaupun pembatasan Hobbes tidak efektif. Sebaliknya, Locke mengembangkan konstitusi negara untuk menjamin kekuasaan negara tidak melampaui batas yang wajar. Sedangakan Rosseau bertolak dari identitas antara negara dan rakyat. Oleh karena itu, individu melepaskan diri seluruhnya ke dalam negara. Tidak ada apa pun yang tinggal di luar wewenang negara itu. Negara itu total karena identik total dengan rakyat. Di lain pihak, individu tidak melepaskan hak apa pun, karena dengan melepaskan diri ke dalam negara, individu tidak melepaskan diri. Negara bukanlah lembaga yang berhadapan dengan individu-individu sehingga dapat merampas hak-haknya dan perlu dibatasi wewenangnya.
Oleh karena itu, masalah penjaminan hak-hak asasi dan pembatasan kekuasaan hilang bagi Rosseau. Sarana-saran yang dalam pandangan Locke merupakan jaminan itu tidak mempunyai fungsi dalam negara yang dibayangkan Rosseau. Dengan demikian, secara de facto Rosseau sama sekali tidak membatasi kekuasaan negara. Hal ini berbeda dengan Locke yang sangat tegas mengatakan bahwa kekuasaan harus dibatasi.



KESIMPULAN
John Lock (sebagai bapak Hak asasi bukunya Two Traties Civil Governement) John Lock mengenal pula “Homohominilopus”. Oleh karena didorong keinginan untuk merdeka, maka diadakan suatu perjanjian “Faktum Subjektionis dan Factum Unionis”. Rakyat memberikan kekuasaannya kepada pejabat akan tetapi tidak boleh melanggar hak asasi. Karena manusia makhluk berakal dan mempunyai hak asasi yang terdiri dari:
1. hak asasi terhadap badan;
2. hak asasi terhadap nyawa;
3. hak asasi terhadap kehormatan;
4. hak asasi terhadap harta benda;
5. hak asasi terhadap kemerdekaan.
Terdiri dari :
a. fredum from fear,
b. fredum from want,
c. fredum from of state,
d. fredum from of relegion,
e. fredum from of mistake (kesalahan,kekeliruan),
f. fredum from of tobe free. 

John Locke (1632-1704) memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan. Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).
pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hakhak asasi warga negara akan lebih terjamin. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.
John Locke menganut teori Kontrak Sosial/Perjanjian Masyarakat [buku Two Treatises of Government].

Secara singkat, teorinya begini:
1. Setiap individu memiliki hak-hak yang asasi: life, liberty, property yang tidak boleh diganggu gugat.
2. Individu-individu ingin hidup tentram, maka mereka membentuk perjanjian masyarakat. Namun terdapat keharusan rasional agar ketenteraman warga sipil terjamin dan tujuan negara terwujud. Alhasil, masyarakat kemudian membuat perjanjian/kontrak sosial sehingga bisa berbentuk comonnwealth [ingatlah selalu kalau Locke menggunakan istilah "commonwealth", bukan "state"].
3. Negara terbentuk, dengan dikepalai oleh seorang kepala negara yang harus memperhatikan konstitusi/kontrak kesepakatan politik [tidak boleh sewenang-wenang].
4. Terwujudlah negara monarki konstitusional.
5. Kalau raja berubah menjadi lalim, rakyat boleh memberontak, bahkan membunuh raja.
materi referensi:
Buku-buku:
1. Pudja Pramana KA, Ilmu Negara [2009].
2. R. Djokosutono, Kuliah Ilmu Negara [1982].

Teori Pemisahan Kekuasaan Negara
John Locke adalah orang pertama yang mengemukakan teori pemisahan kekuasaan negara dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government” (1660). Ia membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang sebagai berikut:
1.    Legislatif: kekuasaan untuk membuat undang-undang;
2.    Eksekutif: kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang;
3.    Federatif: kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri. (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain seperti:mengumunkan perang dan perdamaian, dan menetapkan perjanjian-perjanjian).
Diilhami pemikiran John Locke, setengah abad kemudian Montesquieu - seorang pengarang, filsuf asal Prancis menulis buku “L’Esprit des Lois” (Jenewa, 1748). Di dalamnya ia menulis tentang sistem pemisahan kekuasaan yang berlaku di Inggris:
1.    Legislatif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan perwakilan rakyat (parlemen);
2.    Eksekutif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh pemerintah;
3.    Yudikatif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya).
Isi ajaran Montesquieu berpangkal pada pemisahan kekuasaan negara (separation of powers) yang terkenal dengan istilah “Trias Politica”. Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu adalah untuk membendung kesewenang-wenangan raja.
Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) harus dipegang oleh badan yang berhak khusus untuk itu. Dalam negara demokratis, kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang itu sepantasnya dipegang oleh badan perwakilan rakyat. Sedangkan kekuasaan melaksanakan undang-undang harus dipegang oleh badan lain, yaitu badan eksekutif. Dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan yustisi, kehakiman) adalah kekuasaan yang berkewajiban memertahankan undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyat. Badan yudikatiflah yang berkuasa memutuskan perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan oleh badan legislatif dan dilaksanakan oleh badan eksekutif.
Walaupun para hakim pada umumnya diangkat oleh kepala negara (eksekutif), mereka berkedudukan istimewa, tidak diperintah oleh kepala negara yang mengangkatnya dan bahkan berhak menghukum kepala negara jika melakukan pelanggaran hukum. Inilah perbedaan mendasar pandangan Montesquieu dan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasasan eksekutif. Montesquieu memandang badan peradilan sebagai kekuasaan independen. Kekuasaan federatif menurut pembagian John Locke justru dimasukkan Montesquieu sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif.
Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan?
Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang dipertahankan dengan jelas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemisahan dalam arti formal adalah pembagian kekuasaan yang tidak dipertahankan secara tegas. Prof.Dr. Ismail Suny, SH, MCL dalam bukunya “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif” berkesimpulan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material sepantasnya disebut separation of powers (pemisahan kekuasaan), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal sebaiknya disebut division of powers (pembagian kekuasaan). Suny juga berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material hanya terdapat di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dan negara-negara Eropa Barat umumnya berlaku pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Meskipun demikian, alat-alat perlengkapan negara tetap dapat dibedakan. Apabila dalam sistem Republik rakyat di negara-negara Eropa Timur dan Tengah sama sekali menolak prinsip pemisahan kekuasaan, maka UUD 1945 membagi perihal kekuasaan negara itu dalam alat-alat perlengkapan negara yang memegang ketiga kekuasaan itu tanpa menekankan pemisahannya